Deflasi Januari 2025: Ancaman Serius bagi Daya Beli Masyarakat Indonesia
Deflasi 0,76 persen di Januari 2025 mengindikasikan melemahnya daya beli, konsumsi melambat, dan membutuhkan solusi strategis pemerintah untuk mendorong pemulihan ekonomi.
![Deflasi Januari 2025: Ancaman Serius bagi Daya Beli Masyarakat Indonesia](https://cdns.klimg.com/mav-prod-resized/0x0/ori/image_bank/2025/02/05/070040.834-deflasi-januari-2025-ancaman-serius-bagi-daya-beli-masyarakat-indonesia-1.jpg)
Angka deflasi 0,76 persen di bulan Januari 2025, yang diumumkan oleh Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti, sebenarnya menyimpan sinyal bahaya. Meskipun terlihat positif karena harga barang turun, kenyataannya deflasi ini menandakan melemahnya daya beli masyarakat Indonesia, perlambatan konsumsi, dan terhambatnya pertumbuhan ekonomi.
Berbeda dengan deflasi akibat peningkatan produktivitas, deflasi kali ini disebabkan oleh permintaan masyarakat yang lesu. Konsumsi rumah tangga, yang selama ini menjadi tulang punggung Produk Domestik Bruto (PDB) lebih dari 55 persen, mengalami tekanan signifikan. Masyarakat cenderung menahan pengeluaran, memprioritaskan kebutuhan pokok, dan menunda pembelian barang sekunder dan tersier.
Data dari Bank Indonesia memperkuat indikasi ini. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) terus menurun sejak pertengahan 2024, menunjukkan pesimisme masyarakat terhadap kondisi ekonomi. Dampaknya terlihat jelas: penyusutan kelas menengah dari 21,5 persen populasi pada 2019 menjadi 17,1 persen saat ini, atau sekitar 10 juta orang kehilangan daya beli yang signifikan. Kelompok ini bukan termasuk masyarakat miskin penerima bansos, namun juga bukan lagi kelas menengah yang menjadi kontributor utama konsumsi.
Dampak Deflasi terhadap Dunia Usaha
Dunia usaha, khususnya sektor ritel dan manufaktur yang sangat bergantung pada konsumsi domestik, menghadapi tantangan serius. Penurunan indeks penjualan ritel sejak kuartal ketiga 2024, dengan beberapa pengusaha melaporkan penurunan penjualan hingga 30 persen, menjadi bukti nyata. Banyak Usaha Kecil dan Menengah (UKM) kesulitan bertahan, terpaksa mengurangi produksi atau bahkan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), menciptakan efek domino yang semakin memperlemah daya beli.
Penerimaan negara pun turut terdampak. Perlambatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menunjukkan kelesuan aktivitas konsumsi. Meskipun target penerimaan pajak masih terlampaui, pertumbuhannya yang hanya 3,5 persen mengindikasikan penyusutan basis pajak. Pemerintah menghadapi dilema dalam menjaga keseimbangan fiskal tanpa membebani masyarakat yang sudah tertekan.
Solusi Strategis untuk Mengatasi Deflasi
Mengatasi deflasi dan meningkatkan daya beli membutuhkan langkah konkret dan strategis. Salah satu solusi yang diusulkan oleh Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPNVJ, Achmad Nur Hidayat, adalah meningkatkan lapangan kerja berkualitas. Menurutnya, berkurangnya pendapatan akibat PHK atau ketidakpastian pekerjaan menjadi penyebab utama melemahnya daya beli. Pemerintah perlu memberikan insentif bagi industri padat karya dan mendorong pertumbuhan sektor manufaktur serta industri kreatif.
Selain itu, program bantuan sosial (bansos) perlu lebih fleksibel, menjangkau tidak hanya kelompok miskin, tetapi juga mereka yang rentan mengalami penurunan kelas sosial. Bantuan Langsung Tunai (BLT) berbasis data akurat dapat menjadi solusi sementara untuk mencegah penurunan konsumsi yang lebih tajam. Subsidi energi dan pangan juga perlu dioptimalkan untuk menjaga daya beli terhadap kebutuhan dasar.
Investasi juga harus menjadi prioritas. Penyederhanaan regulasi dan insentif bagi investor, baik domestik maupun asing, dapat menarik modal ke sektor riil. UKM perlu didukung dengan akses pembiayaan yang mudah, pelatihan digitalisasi, dan insentif pajak bagi yang mampu meningkatkan produksi dan ekspor. Kebijakan moneter yang adaptif dari Bank Indonesia, menyeimbangkan stabilitas nilai tukar, suku bunga, dan likuiditas pasar, juga sangat penting.
Efisiensi distribusi dan stabilisasi harga juga perlu ditingkatkan. Kenaikan harga beberapa komoditas strategis, seperti minyak goreng, beras, dan daging ayam, meskipun terjadi deflasi, menunjukkan masalah dalam rantai distribusi. Sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dan sektor swasta dibutuhkan untuk menstabilkan distribusi barang kebutuhan pokok.
Ancaman Serius dan Langkah ke Depan
Penurunan daya beli akibat deflasi bukanlah isu sesaat, melainkan ancaman serius yang memerlukan kolaborasi pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Masyarakat perlu didorong untuk kembali berbelanja dengan insentif yang tepat, dunia usaha membutuhkan kepastian regulasi, dan pemerintah harus menjaga keseimbangan fiskal tanpa kebijakan kontra-produktif. Pemerintah harus segera bertindak cepat untuk menghindari krisis ekonomi yang lebih dalam. Deflasi Januari 2025 bukan hanya efek diskon tarif listrik, tetapi cerminan masalah mendasar dalam ekonomi nasional. Hanya dengan kebijakan inovatif dan kolaboratif, Indonesia dapat mengatasi deflasi dan kembali pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.