Deflasi Januari: Sinyal Melemahnya Daya Beli Masyarakat Indonesia?
Deflasi 0,76 persen di Januari 2025 mengindikasikan melemahnya daya beli masyarakat Indonesia, diperparah penurunan kelas menengah dan dampak pada sektor ritel dan manufaktur.
![Deflasi Januari: Sinyal Melemahnya Daya Beli Masyarakat Indonesia?](https://cdns.klimg.com/mav-prod-resized/0x0/ori/image_bank/2025/02/05/000209.212-deflasi-januari-sinyal-melemahnya-daya-beli-masyarakat-indonesia-1.jpg)
Deflasi yang terjadi pada Januari 2025 sebesar 0,76 persen (mtm) menjadi perhatian serius, terutama karena sinyalemen melemahnya daya beli masyarakat Indonesia. Meskipun Badan Pusat Statistik (BPS) mengaitkannya dengan diskon tarif listrik, ekonom Achmad Nur Hidayat dari UPN Veteran Jakarta melihat lebih jauh dari sekadar potongan harga listrik tersebut.
Achmad berpendapat bahwa angka deflasi yang cukup signifikan ini merupakan indikator nyata dari penurunan daya beli masyarakat. Hal ini diperkuat dengan data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Bank Indonesia yang terus menurun sejak pertengahan 2024, menunjukkan masyarakat cenderung lebih berhati-hati dalam pengeluaran.
Tren inflasi tahunan yang melambat, dari 3,00 persen (yoy) pada April 2024 menjadi 2,12 persen (yoy) pada Januari 2025, semakin menguatkan indikasi melemahnya konsumsi rumah tangga. Bukan sekadar fluktuasi biasa, kondisi ini mencerminkan tantangan ekonomi yang perlu segera ditangani.
Data BPS menunjukkan penurunan jumlah penduduk kelas menengah, dari 21,5 persen pada 2019 menjadi 17,1 persen pada 2024. Artinya, sekitar 10 juta orang mengalami kesulitan ekonomi tanpa bantuan pemerintah yang memadai. Ini menjadi masalah serius karena kelas menengah berperan vital dalam menggerakkan ekonomi nasional sebagai konsumen utama dan investor.
Dampak pelemahan daya beli ini terasa nyata di sektor ritel dan manufaktur. Indeks penjualan ritel terus menurun sejak kuartal III-2024, menunjukkan penurunan pengeluaran konsumen. Kenaikan harga bahan baku dan energi global juga menekan margin keuntungan usaha, memaksa banyak UKM melakukan efisiensi, bahkan sampai pada pemutusan hubungan kerja (PHK).
Situasi ini menciptakan efek domino: meningkatnya pengangguran semakin memperparah daya beli masyarakat. Lingkaran setan ini perlu segera diputus untuk mencegah dampak yang lebih luas.
Untuk mengatasi masalah ini, Achmad mengusulkan beberapa solusi strategis. Pertama, menciptakan lapangan kerja berkualitas melalui insentif bagi industri padat karya. Kedua, memperkuat program perlindungan sosial seperti bantuan langsung tunai (BLT) dan subsidi yang tepat sasaran. Ketiga, mengendalikan harga komoditas strategis melalui koordinasi antara Bank Indonesia dan pemerintah.
Langkah tambahan yang penting adalah penyederhanaan regulasi dan peningkatan insentif investasi untuk menarik modal asing dan domestik, guna mempercepat pertumbuhan industri dan penciptaan lapangan kerja baru. Dengan begitu, daya beli masyarakat dapat diperbaiki secara berkelanjutan.