Refleksi Hardiknas 2025: Mengapa Integritas Pendidikan Indonesia Harus Menjadi Prioritas Utama?
Merosotnya integritas pendidikan Indonesia, ditandai dengan rendahnya skor SPI dan maraknya praktik tidak jujur, menjadi tantangan serius yang membutuhkan refleksi mendalam dan solusi komprehensif.

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah memperingati Hari Pendidikan Nasional dengan tema 'Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu Untuk Semua'. Namun, di tengah perayaan tersebut, data Survei Penilaian Integritas (SPI) tahun 2024 dari KPK menunjukkan penurunan signifikan skor integritas pendidikan, dari 73,7 pada 2023 menjadi 69,50. Penurunan ini terjadi di 36.888 satuan pendidikan di 507 kabupaten/kota dari 38 provinsi, melibatkan 449.865 responden. Kondisi ini mengkhawatirkan dan membutuhkan tindakan nyata untuk memperbaiki integritas pendidikan nasional.
Penurunan skor SPI mengindikasikan bahwa internalisasi nilai-nilai integritas belum berjalan optimal. Praktik menyontek merajalela di 78 persen sekolah dan 98 persen kampus. Ketidakdisiplinan akademik juga tinggi, dialami 45 persen siswa dan 84 persen mahasiswa. Bahkan, praktik gratifikasi ditemukan di 22 persen sekolah, di mana guru menerima 'bingkisan' untuk nilai atau kelulusan siswa. Fakta ini menunjukkan adanya krisis integritas yang perlu ditangani secara serius.
Esensi pendidikan perlahan terkikis oleh pragmatisme dan obsesi pada formalitas. Masyarakat, pendidik, dan peserta didik terjebak dalam mengejar hasil instan, mengabaikan pembentukan karakter dan penanaman nilai moral. Refleksi mendalam terhadap sistem pendidikan menjadi sangat penting untuk menemukan akar masalah dan solusi yang tepat. Pertanyaan mendasar muncul: Apakah institusi pendidikan kita lebih berfungsi sebagai 'lembaga pengajaran' atau 'lembaga pendidikan' yang sesungguhnya?
Kembali pada Khazanah Pemikiran Pendidikan
Pemikir klasik seperti Plato dan Aristoteles menekankan pendidikan holistik yang mengembangkan karakter dan kecerdasan secara seimbang. Plato menekankan harmoni antara perkembangan fisik, intelektual, dan moral. Aristoteles bertujuan mencapai eudaimonia melalui pengembangan akal budi dan kebajikan. Ki Hadjar Dewantara, dari khazanah lokal, menekankan pendidikan yang memerdekakan, berpusat pada peserta didik, dan selaras dengan budaya bangsa. Konsep among, tut wuri handayani, ing ngarsa sung tulada, dan ing madya mangun karsa tetap relevan hingga kini.
Pemikiran para tokoh ini selaras dengan regulasi formal negara. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan bertujuan mengembangkan potensi peserta didik secara menyeluruh, termasuk kekuatan spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan. Tujuannya adalah menghasilkan insan Indonesia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab.
Namun, realitas di lapangan seringkali berbeda. Pendidikan cenderung fokus pada transfer ilmu pengetahuan dan keterampilan kognitif, mengabaikan pembinaan sikap hidup dan karakter. Usaha pendidikan meliputi pemeliharaan dan pengasuhan, pembiasaan nilai positif, pengajaran, dan pembinaan sikap hidup. Praktik pendidikan seringkali didominasi paradigma pengajaran yang menekankan aspek kognitif dan psikomotorik, mengabaikan dimensi afektif.
Proses pendidikan dimulai dari pemeliharaan dan pengasuhan di usia dini, dilanjutkan dengan penanaman pembiasaan perilaku positif, pengajaran, dan puncaknya adalah pembinaan sikap hidup. Pengalaman penulis menunjukkan dominasi aktivitas mencatat dan menghafal tanpa pemahaman mendalam. Pembelajaran di tingkat menengah kejuruan seringkali berfokus pada keterampilan praktis tanpa konteks etika dan tanggung jawab profesional. Transfer nilai dan pemahaman hidup seringkali hanya sebatas kognitif, tanpa penghayatan dan implementasi dalam perilaku sehari-hari.
Membangun Pilar Sikap Hidup
Pembinaan sikap hidup merupakan kegiatan pendidikan yang paling esensial dan menantang. Sikap hidup, menurut Alex Lanur (2019), adalah kecenderungan batin yang menetap dan konsisten mengarahkan seseorang untuk memilih kebaikan. Pembentukannya melalui internalisasi nilai, refleksi, dan praktik berulang. Zygmunt Bauman menekankan akar sikap moral pada hati nurani, bukan paksaan eksternal. Pierre Bourdieu menjelaskan bagaimana struktur sosial dan pengalaman internal membentuk disposisi perilaku.
Pendekatan pengajaran yang hanya berfokus pada transfer pengetahuan tanpa pembinaan sikap hidup yang mendalam menjadi akar permasalahan perilaku tidak terpuji. Mendidik lebih komprehensif daripada mengajar. Mengajar ibarat memberi air dan pupuk pada pohon, sedangkan mendidik memastikan pohon tumbuh kuat, berakar kokoh, dan menghasilkan buah yang bermanfaat. Manusia perlu dididik agar memiliki karakter kuat dan sikap hidup kokoh. Tanpa sikap hidup yang baik, pengetahuan dan keterampilan dapat disalahgunakan.
Sikap hidup yang berlandaskan nilai-nilai luhur dan akhlak mulia menjadi urgensi utama dalam mewujudkan pendidikan berkualitas. Pendidikan yang belum menyentuh pembinaan sikap hidup yang baik adalah pendidikan yang belum selesai, kehilangan ruhnya, sekadar pengajaran tanpa esensi mendidik yang sesungguhnya. Perbaikan integritas pendidikan memerlukan komitmen bersama dari semua pihak yang terlibat dalam sistem pendidikan Indonesia.