RI dan Kamboja Perkuat Kerja Sama untuk Cegah Perdagangan Orang
Indonesia dan Kamboja sepakat meningkatkan kerja sama untuk mencegah perdagangan orang dan mengatasi tantangan imigrasi lintas negara.

Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas) Republik Indonesia dan Imigrasi Kerajaan Kamboja telah menyepakati kerja sama penting untuk mencegah perdagangan orang dan mengatasi berbagai tantangan keimigrasian. Kesepakatan ini terjalin melalui penandatanganan letter of intent (LoI) dalam Pertemuan Bilateral Imigrasi RI dan Kamboja yang berlangsung di Bali pada hari Senin. Inisiatif ini diharapkan dapat memperkuat perlindungan terhadap warga negara Indonesia dan Kamboja dari praktik migrasi ilegal yang semakin meresahkan.
Kerja sama ini mencakup serangkaian langkah strategis, termasuk pertukaran informasi yang lebih intensif, penyediaan bantuan teknis, dan pengembangan kapasitas sumber daya manusia. Menteri Imipas, Agus Andrianto, menekankan bahwa pertemuan bilateral ini menjadi platform krusial untuk memperdalam pemahaman bersama, berbagi pengalaman, dan merumuskan solusi inovatif terhadap isu-isu keimigrasian yang menjadi kepentingan kedua negara. Agus menambahkan, kerja sama ini didasari atas maraknya kasus WNI yang bekerja secara nonprosedural di Kamboja terjerat judi dan penipuan daring.
Salah satu fokus utama dari kerja sama ini adalah memerangi tindak pidana perdagangan orang (TPPO), terutama yang melibatkan warga negara kedua negara. Pemerintah Indonesia telah berupaya membangun kewaspadaan masyarakat terhadap TPPO melalui program Desa Binaan Imigrasi. "Kami membantu membangun kesadaran untuk waspada dalam merespon tawaran bekerja di luar negeri, terutama jika mereka diminta memberi keterangan yang tidak benar untuk mendapatkan paspor. Saat ini, ada 185 desa binaan yang kami miliki," ucap Agus.
Penempatan Atase Imigrasi dan Intensifikasi Pertukaran Informasi
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Imigrasi, Yuldi Yusman, mengungkapkan bahwa Pemerintah Indonesia dan Kamboja sepakat perlunya penempatan atase imigrasi Indonesia di Kamboja. Langkah ini bertujuan untuk memperkuat koordinasi dan kerja sama di bidang keimigrasian. Penempatan atase imigrasi diharapkan dapat mempercepat respons terhadap kasus-kasus yang melibatkan warga negara Indonesia di Kamboja, serta meningkatkan efektivitas penegakan hukum terkait isu-isu keimigrasian.
Selain penempatan atase imigrasi, kedua negara juga berencana menunjuk focal point (titik fokus) di masing-masing negara. Inisiatif ini akan memfasilitasi komunikasi yang lebih cepat dan efisien dalam menangani permasalahan keimigrasian. Intensifikasi pertukaran informasi keimigrasian serta sharing best practice (berbagi praktik terbaik) dalam menyelesaikan permasalahan keimigrasian WNI di Kamboja juga menjadi agenda utama dalam kerja sama ini.
Yuldi menambahkan, Indonesia secara aktif terlibat dalam memerangi penyelundupan manusia melalui strategi komprehensif yang melibatkan kerja sama di forum bilateral, regional, maupun internasional. Salah satu langkah signifikan yang telah diambil adalah memasukkan klausul tindak pidana penyelundupan manusia ke dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Melalui langkah ini, penyelundup dan fasilitatornya dapat dikenakan sanksi tegas.
Peran Imigrasi dalam Pencegahan Pekerja Migran Nonprosedural
Imigrasi memiliki peran krusial dalam mencegah keberangkatan pekerja migran nonprosedural. Salah satu langkah yang diambil adalah melakukan penundaan penerbitan paspor atau penolakan dan penundaan keberangkatan WNI yang terindikasi sebagai migran ilegal. Yuldi menjelaskan bahwa selama periode Januari hingga April 2024, petugas di tempat pemeriksaan imigrasi bandara dan pelabuhan internasional se-Indonesia telah melakukan penundaan keberangkatan terhadap 5.000 orang calon pekerja migran nonprosedural.
Selain itu, hingga saat ini tercatat sebanyak 303 penundaan penerbitan paspor yang telah dilakukan oleh kantor imigrasi di seluruh Indonesia. Langkah-langkah ini menunjukkan komitmen Imigrasi dalam mencegah praktik perdagangan orang dan melindungi warga negara dari eksploitasi di luar negeri.
Ditjen Imigrasi juga aktif mencegah TPPO melalui program Desa Binaan Imigrasi. Program ini bertujuan untuk memberikan edukasi keimigrasian kepada masyarakat pedesaan, terutama di desa-desa yang menjadi penyumbang pekerja migran terbanyak. "Keterlibatan masyarakat dan peningkatan kesadaran publik melalui kampanye edukasi di daerah rentan menjadi komponen utama strategi pencegahan," demikian Yuldi.
Kerja sama antara Imigrasi RI dan Kamboja ini diharapkan dapat memberikan dampak positif dalam upaya pencegahan perdagangan orang dan penanganan isu-isu keimigrasian. Dengan adanya koordinasi yang lebih baik dan pertukaran informasi yang intensif, diharapkan warga negara Indonesia dan Kamboja dapat terlindungi dari praktik migrasi ilegal dan eksploitasi.