Sidang MK Pertanyakan Hukum Pilkada Banjarbaru: Suara Tidak Sah dan Protes Pemilih
Sidang Mahkamah Konstitusi mempertanyakan dasar hukum Pilkada Banjarbaru 2024 terkait banyaknya suara tidak sah akibat disusulfikasinya satu pasangan calon, tanpa menerapkan sistem kotak kosong.
Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) mempertanyakan legalitas Pilkada Banjarbaru 2024. Persidangan Senin lalu menyoroti tingginya angka suara tidak sah karena satu pasangan calon, Aditya-Said, didiskualifikasi, tetapi fotonya tetap ada di surat suara.
Hakim Enny Nurbaningsih mempertanyakan dasar hukum yang digunakan. Meskipun suara untuk pasangan yang didiskualifikasi dinyatakan tidak sah, prosesnya berbeda dari Pasal 54C UU Pilkada yang mengatur metode 'kotak kosong'. Enny mempertanyakan, "Bagaimana dasar hukumnya jika pasangan calon tidak mengikuti Pasal 54C, namun suaranya dianggap tidak sah?"
Ketua KPU Banjarbaru, Dahtiar, menjelaskan bahwa mereka berpedoman pada Keputusan KPU Nomor 1774 Tahun 2024 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara. Keputusan ini ditetapkan pada 23 November 2024.
Pilkada Banjarbaru diikuti dua pasangan: Erna Lisa Halaby-Wartono (nomor urut 1) dan Aditya Mufti Ariffin-Said Abdullah (nomor urut 2). Aditya-Said didiskualifikasi berdasarkan Keputusan KPU Kota Banjarbaru Nomor 124 Tahun 2024 (31 Oktober 2024) atas rekomendasi Bawaslu Kalsel karena pelanggaran administratif.
Meskipun demikian, foto Aditya-Said tetap ada di surat suara. Hasilnya, Erna-Wartono menang dengan 36.135 suara, sementara suara tidak sah mencapai 78.736 suara. Angka suara tidak sah yang tinggi ini menjadi sorotan.
Hakim Arief Hidayat menduga suara tidak sah menunjukkan protes pemilih terhadap Erna-Wartono. Namun, kuasa hukum KPU, Muh. Salman Darwis, membantahnya. Ia menjelaskan, suara tidak sah bukan hanya dari pemilih yang mencoblos Aditya-Said, tapi juga karena surat suara rusak atau dicoblos tidak sesuai aturan.
Arief juga mempersoalkan metode pemungutan suara yang seolah-olah hanya menyisakan satu pilihan bagi pemilih. Menurut Arief, kondisi ini menimbulkan persoalan hukum. Pemilih dipaksa memilih Erna-Wartono atau memilih tidak sama sekali, kata Arief. Salman membela diri dengan menyatakan bahwa KPU hanya mengikuti Keputusan 1774.
Empat pihak menggugat hasil Pilkada Banjarbaru ke MK: Muhamad Arifin (Lembaga Studi Visi Nusantara Kalsel), Udiansyah dan Abd. Karim (dua pemilih), Hamdan Eko Benyamine dkk (Lembaga Akademi Bangku Panjang Mingguraya), dan Said Abdullah (Calon Wakil Wali Kota Banjarbaru nomor urut 2).
Keempat perkara tersebut disidangkan di panel 3 yang dipimpin Arief Hidayat, bersama Enny Nurbaningsih dan Anwar Usman. Sidang ini menyoroti pentingnya aturan yang jelas dan proses Pilkada yang demokratis.