Subsidi Gas Melon: Masalah, Anomali, dan Solusi Tepat Sasaran
Artikel ini membahas masalah subsidi gas melon 3 kg di Indonesia, anomali yang terjadi seperti migrasi konsumen dan pengoplosan, serta solusi untuk penargetan subsidi yang lebih tepat sasaran.
Subsidi gas melon 3 kg di Indonesia tengah menjadi sorotan. Menteri Bahlil Lahadalia bahkan telah menyoroti tingginya subsidi energi, dengan gas melon sebagai salah satu penyumbang terbesar. Subsidi ini mencapai Rp87 triliun pada tahun 2025, meningkat 7,54% dari tahun sebelumnya dan menimbulkan beberapa permasalahan krusial yang membutuhkan solusi segera.
Mengapa subsidi gas melon menjadi masalah? Salah satu penyebab utamanya adalah disparitas harga yang signifikan antara gas melon dengan gas non-subsidi (5,5 kg ke atas). Setelah PT Pertamina menerapkan harga keekonomian untuk gas non-subsidi, konsumen mampu beralih ke gas melon yang lebih murah, sehingga subsidi tidak tepat sasaran. Hal ini menyebabkan konsumen yang berhak atas subsidi harus bersaing dengan konsumen mampu.
Bagaimana anomali ini terjadi? Pertama, terjadi migrasi konsumen. Sekitar 30% pengguna gas non-subsidi beralih ke gas melon, termasuk mereka yang mampu secara ekonomi. Kedua, maraknya pengoplosan gas. Oknum agen memanfaatkan perbedaan harga untuk mencampur gas non-subsidi dengan gas melon, mengakibatkan risiko kebakaran dan kerugian bagi konsumen. Ketiga, program jaringan gas (jargas) rumah tangga menjadi kurang berkembang karena kalah bersaing dengan harga gas melon yang jauh lebih murah.
Apa solusi yang ditawarkan? Ada tiga opsi utama. Pertama, distribusi tertutup seperti yang diterapkan pada tahun 2006, memastikan hanya masyarakat miskin yang mengakses gas subsidi. Kedua, memperkecil disparitas harga dengan menaikkan harga gas melon atau menurunkan harga gas non-subsidi. Ketiga, subsidi berbasis penerima, yaitu memberikan subsidi langsung kepada individu yang berhak melalui Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementerian Sosial.
Implementasi solusi tersebut memiliki tantangan masing-masing. Menaikkan harga gas melon dapat membebani masyarakat miskin, sementara menurunkan harga gas non-subsidi akan mengurangi keuntungan Pertamina. Subsidi berbasis penerima memerlukan data DTKS yang akurat dan terupdate. Namun, solusi ini menawarkan keadilan dan efisiensi yang lebih baik.
Kesimpulannya, permasalahan subsidi gas melon memerlukan solusi komprehensif. Pemerintah perlu mengambil langkah tegas dan berani untuk memastikan subsidi tepat sasaran, mengurangi anomali di pasar, dan mendukung program jargas rumah tangga. Hal ini penting tidak hanya untuk efisiensi anggaran, tetapi juga untuk keselamatan dan keadilan sosial.
Pemerintah juga perlu mempertimbangkan aspek ekologis, sejalan dengan komitmen Nett Zero Emission (NZE). Subsidi energi fosil seperti gas elpiji perlu dikurangi secara bertahap dan dialihkan ke energi terbarukan.
*)Tulus Abadi, Pengamat Perlindungan Konsumen dan Kebijakan Publik, Pengurus Harian YLKI