Distribusi Elpiji 3 Kg: Lebih Adil atau Justru Memperumit?
Kebijakan baru soal distribusi elpiji 3 kg hanya melalui pangkalan resmi menimbulkan pro-kontra, karena dinilai mempersulit akses masyarakat, terutama di daerah terpencil, dan berpotensi memicu praktik calo, sementara digitalisasi dan subsidi yang lebih t
Mulai 1 Februari 2025, pemerintah memberlakukan aturan baru: penjualan elpiji 3 kg hanya boleh melalui pangkalan resmi. Kebijakan ini bertujuan agar subsidi tepat sasaran, namun memicu keresahan karena akses gas melon menjadi lebih sulit bagi sebagian masyarakat.
Mengapa Kebijakan Ini Kontroversial?
Pemerintah berharap kebijakan ini mencegah penyalahgunaan subsidi dan memastikan elpiji 3 kg tepat sampai ke tangan yang berhak. Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung, bahkan menyatakan pengecer yang ingin tetap menjual elpiji subsidi harus mendaftar sebagai pangkalan resmi Pertamina. Namun, realitanya, kebijakan ini berdampak signifikan terutama bagi masyarakat yang bergantung pada pengecer untuk mendapatkan gas melon, khususnya di daerah terpencil.
Dampak Bagi Masyarakat
Bagi warga kota, perubahan mungkin minimal. Mereka tinggal beralih dari membeli di warung ke pangkalan resmi. Namun, bagi masyarakat di daerah terpencil yang jauh dari pangkalan, ini jadi masalah besar. Bayangkan, pedagang kaki lima dan UMKM yang mengandalkan elpiji 3 kg untuk usaha mereka kini harus menempuh jarak jauh dan mengeluarkan biaya transportasi tambahan. Ini menjadi beban ekonomi yang tak sedikit, terutama jika dihitung bulanan.
Potensi Percaloan dan Kenaikan Harga
Situasi ini semakin krusial menjelang Ramadhan, di mana permintaan elpiji meningkat. Antrean panjang di pangkalan dan kelangkaan gas melon di beberapa wilayah sangat mungkin terjadi. Situasi ini membuka peluang praktik percaloan yang merugikan masyarakat. Kebijakan ini juga berpotensi memaksa masyarakat beralih ke elpiji 12 kg yang harganya jauh lebih mahal, memberatkan ekonomi keluarga dan UMKM.
Solusi yang Lebih Baik
Sebagai solusi, pemerintah perlu mempercepat digitalisasi pembelian elpiji 3 kg. Sistem yang terintegrasi dan berbasis data KTP akan lebih efektif mengontrol subsidi tanpa memotong rantai distribusi yang selama ini memudahkan akses masyarakat. Pendekatan lain yang lebih bijak adalah dengan mengedukasi masyarakat dan memberikan insentif bertahap untuk beralih ke energi alternatif. Contohnya, menerapkan skema subsidi berdasarkan konsumsi energi seperti di beberapa negara lain.
Kesimpulan
Kebijakan distribusi elpiji 3 kg yang baru perlu dievaluasi. Pemerintah perlu mencari keseimbangan antara menjaga keuangan negara dan memastikan akses yang adil bagi masyarakat. Fokusnya bukan hanya pemangkasan rantai distribusi, tetapi juga sistem pemantauan yang lebih ketat dan mekanisme transisi yang memadai agar subsidi tepat sasaran tanpa membebani masyarakat. Digitalisasi dan subsidi berbasis konsumsi energi bisa menjadi solusi yang lebih efektif dan adil.