Tanah di Badan Sungai Akan Berstatus HPL Atas Nama Negara
Menteri ATR/BPN Nusron Wahid menegaskan tanah di badan dan sepadan sungai akan berstatus Hak Pengelolaan Lahan (HPL) atas nama negara untuk mencegah kesewenang-wenangan dan memastikan pengelolaan sumber daya air yang optimal.

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, menegaskan bahwa seluruh tanah di badan dan sepadan sungai akan diterbitkan sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) atas nama negara. Pernyataan ini disampaikan seusai rapat koordinasi terbatas di Jakarta pada Selasa, 19 Maret. Keputusan ini diambil untuk menciptakan kepastian hukum dan mencegah pemanfaatan lahan sungai yang tidak sah.
Langkah ini didasari oleh peraturan pemerintah yang mewajibkan sertifikasi tanah, baik milik negara maupun masyarakat, yang bukan termasuk kawasan hutan. Tanah di sepanjang sungai, termasuk di atas tanggul, perlu memiliki status hukum yang jelas. Banyak tanah di atas tanggul yang sebelumnya tak bersertifikat, diduduki pihak tertentu, dan kemudian diurus surat tanahnya melalui berbagai jalur, termasuk lurah dan instansi lain. Namun, jika tanah tersebut milik negara, sertifikat yang dikeluarkan tidak sah karena tanah negara tidak dapat dimiliki secara pribadi.
Otoritas atas tanah di badan sungai dan sepadan sungai bergantung pada pengelola sungai. Kementerian PUPR melalui Badan Pengelola Wilayah Sungai (BPWS) bertanggung jawab jika sungai dikelola kementerian tersebut. Sementara itu, Pemerintah Provinsi melalui Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Provinsi yang bertanggung jawab jika sungai berada di bawah kewenangan provinsi. Pemerintah berupaya menyelesaikan masalah ini dengan pendekatan yang manusiawi.
Penertiban Tanah di Badan Sungai: Solusi dan Tantangan
Pemerintah berkomitmen untuk menertibkan status kepemilikan tanah di badan sungai. Penerbitan sertifikat HPL atas nama negara menjadi solusi untuk menciptakan kepastian hukum dan pengelolaan yang jelas. Namun, ada tantangan terkait bangunan yang telah berdiri di atas tanah tersebut. Bangunan tanpa alas hak yang jelas akan ditangani dengan pendekatan kemanusiaan. Relokasi akan dilakukan jika diperlukan, bukan sebagai penggusuran, melainkan sebagai solusi yang mempertimbangkan aspek kemanusiaan.
Relokasi dilakukan dengan menyediakan tempat tinggal yang layak. Ganti rugi hanya diberikan jika ada alas hak yang sah atas tanah tersebut. Proses relokasi melibatkan koordinasi dengan pemerintah daerah dan pihak terkait untuk memastikan pemindahan warga berjalan manusiawi dan tidak menimbulkan kerugian ekonomi.
Untuk tanah dengan alas hak yang sah, akan dibentuk panitia pengadaan tanah untuk menentukan harga tanah secara objektif. Salah satu contoh lokasi yang banyak terdapat Sertifikat Hak Milik (SHM) adalah Sungai Bekasi, yang saat ini tercatat memiliki 124 sertifikat. Konsep relokasi akan diatur oleh pemerintah daerah dan Kementerian PUPR, dengan tujuan menyediakan tempat tinggal yang layak bagi masyarakat terdampak.
Langkah Antisipatif Pencegahan Banjir
Penataan tanah di badan sungai dan sepadan sungai merupakan langkah penting untuk mencegah bencana banjir dan mengoptimalkan pengelolaan sumber daya air. Proses relokasi dan penerbitan HPL diharapkan berjalan lancar dan tidak mengganggu kehidupan sosial-ekonomi masyarakat sekitar sungai. Menteri ATR menekankan bahwa semua tanah di badan sungai dan sepadan sungai akan di-HPL-kan atas nama negara. "Nanti konsepnya yang mengatur pemda sama PU, pokoknya direlokasi di tempat yang manusiawi dengan cara yang manusiawi. Yang jelas, semua tanah di badan sungai dan sepadan sungai akan di-HPL-kan atas nama negara," kata Menteri Nusron Wahid.
Dengan demikian, pemerintah berupaya menyeimbangkan penegakan hukum dengan pertimbangan kemanusiaan dalam menyelesaikan masalah kepemilikan tanah di badan sungai. Proses ini diharapkan dapat menciptakan tata kelola sumber daya air yang lebih baik dan mengurangi risiko bencana banjir di masa mendatang.