Terungkapnya Jaringan Gelap: Kasus Perdagangan Sisik Trenggiling Senilai Pembantaian 400 Ekor Satwa Dilindungi
Balai Gakkum Kehutanan Jabalnusra menetapkan tersangka baru dalam kasus perdagangan sisik trenggiling, mengungkap jejaring kejahatan transnasional yang merugikan ekosistem.

Balai Penegakan Hukum Kehutanan Wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara (Jabalnusra) kembali menetapkan seorang tersangka baru. Penangkapan ini terkait dengan kasus perdagangan ilegal sisik trenggiling yang sebelumnya telah diungkap. Tersangka berinisial PAI, 46 tahun, kini resmi ditahan di Rutan Kelas I Salemba Jakarta Pusat.
Penahanan PAI dilakukan usai pemeriksaan intensif pada 17 Juli 2025, sebagai pengembangan dari operasi gabungan. Operasi tersebut melibatkan Kementerian Kehutanan dan Bareskrim Polri yang berhasil menggagalkan transaksi besar. Pada 14 April 2025, 165 kilogram sisik trenggiling diamankan di sebuah kafe di kawasan Grogol, Jakarta Barat.
Kepala Balai Gakkum Kehutanan Wilayah Jabalnusra, Aswin Bangun, menjelaskan bahwa jumlah sisik trenggiling tersebut sangat masif. Jumlah ini setara dengan pembantaian lebih dari 400 ekor trenggiling dewasa (Manis Javanica). Kasus ini menyoroti brutalnya eksploitasi terhadap satwa dilindungi di Indonesia.
Modus Operandi dan Jaringan Kejahatan
Modus operandi para pelaku perdagangan sisik trenggiling menunjukkan evolusi yang signifikan. Aktivitas mereka tidak lagi terbatas pada perburuan fisik semata di hutan-hutan. Kini, para pelaku telah mengembangkan jejaring terorganisir yang memanfaatkan celah di ruang digital untuk melancarkan aksinya.
Sebelumnya, tersangka RJ (46) telah ditahan sebagai penyedia barang utama dalam jaringan ini. Penangkapan PAI melengkapi rantai distribusi gelap tersebut. PAI diduga kuat berperan sebagai penghubung krusial antara penyedia barang dan para pembeli di pasar gelap, serta mengelola jaringan distribusi.
Aswin Bangun menegaskan bahwa perdagangan sisik trenggiling bukan tindak pidana biasa. Ini merupakan bagian integral dari kejahatan transnasional terorganisasi. Kejahatan ini secara spesifik menyasar spesimen satwa dilindungi asal Indonesia untuk diperdagangkan di pasar gelap internasional.
Penegakan Hukum dan Ancaman Pidana
Pengungkapan kasus perdagangan sisik trenggiling ini berawal dari upaya proaktif Kementerian Kehutanan. Patroli siber yang intensif dilakukan untuk memantau aktivitas mencurigakan di berbagai platform digital. Aktivitas ini kemudian mendorong dilakukannya investigasi intelijen lebih lanjut oleh tim khusus.
Berdasarkan hasil investigasi tersebut, tim operasi dan penyidik berhasil mengamankan dua pelaku utama. Mereka juga berhasil mengungkap secara rinci struktur distribusi barang bukti ilegal tersebut. Upaya ini menunjukkan komitmen serius pemerintah dalam memberantas kejahatan terhadap satwa liar.
Tersangka PAI dijerat dengan pasal berlapis yang menunjukkan keseriusan tindak pidana ini. Pasal yang dikenakan adalah Pasal 40A ayat (1) huruf f Jo Pasal 21 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024. Undang-Undang ini merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Ancaman pidana yang menanti para pelaku perdagangan sisik trenggiling sangat berat. Mereka dapat menghadapi hukuman penjara hingga 15 tahun. Selain itu, denda yang dikenakan juga tidak main-main, mencapai Rp5 miliar. Hal ini diharapkan memberikan efek jera bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kejahatan satwa dilindungi.