THR dan Gaji ke-13 ASN 2025: Berkah atau Beban Fiskal?
Pemerintah tetapkan THR dan gaji ke-13 ASN 2025, memicu pertanyaan dampaknya pada APBN dan pemerataan kesejahteraan masyarakat.

Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2025 tentang pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) dan gaji ke-13 bagi 9,4 juta aparatur negara. Keputusan ini mengakhiri spekulasi mengenai pemangkasan anggaran, bahkan termasuk tambahan tunjangan kinerja (tukin) 100 persen saat Lebaran. THR akan dibayarkan dua pekan sebelum Idulfitri, sementara gaji ke-13 pada Juni 2025, meliputi gaji pokok, tunjangan melekat, dan tunjangan kerja.
Pengumuman ini disambut positif oleh para ASN, TNI, Polri, dan pensiunan. Ekonom Indef, Eko Listiyanto, menilai kebijakan ini menunjukkan perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan aparatur negara, menyatakan bahwa "anggaran THR dan gaji ke-13 bukan bagian dari target efisiensi, sehingga pemerintah wajib memberikannya". Presiden Prabowo sendiri menekankan pentingnya kesejahteraan ASN untuk kinerja maksimal dan pelayanan publik terbaik.
Namun, kebijakan ini memunculkan pertanyaan besar tentang dampaknya terhadap postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Alokasi anggaran untuk THR ASN 2025 mencapai Rp49,4 triliun, yang dialokasikan melalui APBN dan APBD. Kritik muncul terkait potensi pengorbanan sektor krusial lain seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, serta potensi peningkatan kesenjangan sosial jika tidak diimbangi strategi menyeluruh untuk meningkatkan daya beli masyarakat luas.
Dampak terhadap APBN dan Pemerataan Kesejahteraan
Kebijakan THR dan gaji ke-13 ASN yang mencapai angka triliunan rupiah menimbulkan kekhawatiran akan potensi pengurangan anggaran di sektor lain yang tak kalah pentingnya. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah memastikan alokasi anggaran, namun transparansi dan penjelasan rinci mengenai sumber pendanaan tetap dibutuhkan untuk menghindari spekulasi. Pemerintah perlu menjelaskan bagaimana mekanisme anggaran bekerja dan memastikan bahwa pembiayaan THR dan gaji ke-13 tidak mengorbankan sektor pendidikan, kesehatan, atau pembangunan infrastruktur.
Selain itu, penting untuk mempertimbangkan dampak kebijakan ini terhadap kesenjangan sosial. Meskipun ASN memiliki peran strategis, pekerja informal dan buruh di sektor swasta juga menghadapi tantangan ekonomi. Pemerintah perlu merumuskan strategi untuk meningkatkan daya beli masyarakat secara menyeluruh, misalnya dengan memberikan insentif kepada sektor swasta, seperti relaksasi pajak atau subsidi bagi UMKM, agar mereka mampu memberikan THR dan tunjangan layak kepada karyawannya.
Keterbukaan informasi mengenai sumber pendanaan dan mekanisme anggaran sangat penting untuk mencegah munculnya spekulasi dan hoaks. Pemerintah perlu secara transparan menjelaskan bagaimana kebijakan ini dibiayai dan dampaknya terhadap APBN secara keseluruhan. Hal ini akan membangun kepercayaan publik dan mengurangi potensi kecemburuan sosial.
Reformasi Birokrasi dan Kinerja ASN
Peningkatan kesejahteraan ASN harus diiringi dengan peningkatan kinerja dan reformasi birokrasi. Insentif yang diberikan harus sebanding dengan peningkatan kualitas pelayanan publik yang lebih cepat, efisien, dan responsif. Tanpa reformasi birokrasi yang berkelanjutan, kebijakan ini berisiko hanya menjadi beban fiskal tanpa dampak nyata bagi masyarakat.
Pemerintah perlu menetapkan indikator kinerja yang jelas dan terukur untuk memastikan bahwa peningkatan kesejahteraan ASN berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pelayanan publik. Evaluasi berkala dan mekanisme akuntabilitas yang transparan sangat penting untuk memastikan efektivitas kebijakan ini.
Reformasi birokrasi yang berkelanjutan juga akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah dan mengurangi potensi korupsi. Dengan demikian, kebijakan ini tidak hanya memberikan manfaat bagi ASN, tetapi juga berkontribusi pada peningkatan kualitas tata kelola pemerintahan.
Kesimpulan
Kebijakan THR dan gaji ke-13 ASN 2025 merupakan langkah yang perlu diimbangi dengan strategi yang lebih komprehensif. Transparansi anggaran, upaya peningkatan daya beli masyarakat secara luas, dan reformasi birokrasi yang berkelanjutan menjadi kunci keberhasilan kebijakan ini. Dengan pendekatan yang holistik, kebijakan ini dapat menjadi momentum untuk membangun ekonomi yang lebih inklusif dan berkeadilan, bukan hanya sekadar populisme fiskal.