Tragis: 42% Kasus Kekerasan di Sekolah Adalah Pencabulan, Komisi X Dorong Kurikulum Antipencabulan Nasional
Komisi X DPR RI mendesak pemerintah untuk segera menerapkan Kurikulum Antipencabulan di seluruh satuan pendidikan, menyusul tingginya kasus kekerasan seksual di sekolah dan pesantren.

Komisi X DPR RI menyoroti urgensi implementasi Kurikulum Antipencabulan di seluruh satuan pendidikan di Indonesia, meliputi sekolah formal hingga lembaga berbasis keagamaan seperti pesantren. Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani, menegaskan bahwa kurikulum ini esensial untuk melindungi martabat anak bangsa. Inisiatif ini muncul sebagai respons terhadap maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan.
Lalu Hadrian Irfani mengajak seluruh anggota DPR RI, khususnya Komisi X, untuk berkolaborasi dengan pemerintah dalam memprioritaskan pendidikan antipencabulan sebagai bagian integral dari kurikulum nasional. Pendidikan yang komprehensif tidak hanya berfokus pada prestasi akademik, tetapi juga pada pembentukan karakter dan perlindungan siswa dari segala bentuk kekerasan. Hal ini menjadi krusial mengingat lingkungan pendidikan seharusnya menjadi tempat yang aman dan kondusif bagi tumbuh kembang anak.
Melihat fenomena ini, Komisi X menekankan perlunya langkah konkret dan sistematis dari negara. Kurikulum yang diusulkan harus dirancang secara lintas disiplin, menanamkan rasa hormat terhadap tubuh, mengajarkan batasan personal, serta membekali anak dengan keberanian untuk menolak sentuhan yang tidak nyaman. Upaya ini diharapkan mampu menciptakan lingkungan belajar yang bebas dari ancaman kekerasan seksual.
Urgensi Kurikulum Antipencabulan di Satuan Pendidikan
Data terbaru dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengungkapkan fakta yang memprihatinkan mengenai kasus kekerasan di lingkungan pendidikan sepanjang tahun 2024. Tercatat 573 kasus kekerasan, menunjukkan lonjakan tajam dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Ironisnya, 42 persen dari kasus tersebut merupakan tindakan pencabulan, menjadikannya bentuk kekerasan paling dominan.
Lebih lanjut, 36 persen kasus pencabulan ini terjadi di lembaga pendidikan berbasis agama, termasuk pesantren dan madrasah. Lalu Hadrian Irfani menyayangkan kondisi ini, di mana tempat yang seharusnya menjadi ruang mulia untuk menumbuhkan karakter dan keadaban anak justru menjadi arena teror. Kepercayaan yang diberikan orang tua kepada institusi pendidikan seringkali dikhianati, meninggalkan trauma mendalam bagi para korban.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI menegaskan bahwa permasalahan ini bukan lagi sekadar soal moral individu, melainkan isu sistemik yang membutuhkan intervensi negara. Banyak anak usia SD dan SMP menjadi korban pencabulan yang dilakukan oleh oknum guru, ustaz, hingga pengasuh pondok pesantren. Oleh karena itu, sudah saatnya semua pihak tidak hanya berfokus pada sanksi dan penindakan, tetapi juga pada pencegahan sistemik melalui Kurikulum Antipencabulan.
Belajar dari Keberhasilan Negara Eropa dalam Pendidikan Perlindungan Anak
Beberapa negara Eropa telah lama menerapkan pendidikan seksual berbasis perlindungan anak, memberikan inspirasi berharga bagi Indonesia. Belanda, Jerman, dan Swedia menjadi contoh sukses dalam mengintegrasikan kurikulum serupa. Pendekatan ini terbukti efektif dalam menekan angka kekerasan dan meningkatkan kesadaran sosial kolektif.
Di Belanda, program 'Kriebels in je buik' (Butterflies in your stomach) telah diterapkan sejak usia dini. Program ini bertujuan membangun pemahaman anak tentang batas tubuh, rasa aman, dan kepercayaan diri untuk menolak sentuhan yang tidak nyaman. Pendekatan proaktif ini membentuk fondasi perlindungan diri sejak usia muda.
Sementara itu, Swedia telah memasukkan pendekatan komprehensif terhadap pendidikan relasi dan seksualitas dalam kurikulumnya sejak tahun 1955. Kurikulum ini terus disempurnakan seiring waktu, menunjukkan komitmen jangka panjang negara tersebut. Hasilnya, tidak hanya kasus pelecehan yang menurun, tetapi kesadaran masyarakat terhadap pentingnya keselamatan anak juga meningkat signifikan.
Empat Langkah Strategis untuk Membumihanguskan Pencabulan
Untuk memberantas pencabulan di lingkungan pendidikan, Lalu Hadrian Irfani mengusulkan empat langkah strategis yang dapat diimplementasikan oleh pemerintah bersama DPR RI. Langkah pertama adalah penyusunan Kurikulum Antipencabulan yang berbasis budaya lokal dan nilai agama yang rahmatan lil 'alamin, memastikan relevansi dan penerimaan di masyarakat.
Kedua, diperlukan pelatihan komprehensif bagi guru, pembina pesantren, dan seluruh tenaga kependidikan. Pelatihan ini harus mencakup pemahaman etika relasi kekuasaan dan sensitivitas perlindungan anak, membekali mereka dengan pengetahuan untuk menciptakan lingkungan yang aman. Aspek ini krusial untuk mengubah pola pikir dan perilaku.
Langkah ketiga adalah pembentukan mekanisme pelaporan yang aman dan berpihak pada korban. Mekanisme ini harus dapat diakses, bahkan di pesantren yang selama ini cenderung tertutup dari pengawasan eksternal, memastikan setiap kasus dapat ditangani secara adil. Keempat, perlu adanya pemodelan sekolah dan pesantren percontohan sebagai zona aman (Safe School and Pesantren Zone).
Model percontohan ini akan menunjukkan keberhasilan pendekatan preventif dan menjadi acuan bagi institusi pendidikan lainnya. Lalu Hadrian Irfani percaya bahwa nurani bangsa harus diperkuat oleh kebijakan yang berpihak dan regulasi yang tegas. Ia menegaskan bahwa kekerasan atas nama pendidikan tidak bisa lagi dinormalisasi, dan semua pihak tidak boleh diam saat tubuh serta jiwa anak-anak dihancurkan oleh mereka yang seharusnya menjadi pelindung.