Trivia: Sejak 2015, Regulasi Perlindungan Lahan Gambut Jadi Kunci Atasi Kebakaran Hutan
Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan regulasi perlindungan lahan gambut telah diterapkan sistematis sejak 2015, krusial atasi kebakaran dan bangun ketahanan ekologi.

Pemerintah Indonesia telah secara sistematis menerapkan berbagai regulasi terkait perlindungan dan pengelolaan lahan gambut sejak tahun 2015. Langkah ini diambil sebagai respons terhadap kebakaran hutan dan lahan yang masif pada tahun tersebut, menandai reformasi signifikan dalam tata kelola lingkungan.
Wakil Menteri Pengelolaan Lahan dan Sumber Daya Alam Berkelanjutan Kementerian Lingkungan Hidup, Sigit Relianto, menjelaskan bahwa reformasi ini dimulai dengan perumusan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPP-EG). Dokumen ini menjadi fondasi utama bagi seluruh aktivitas restorasi dan pemantauan ekosistem gambut di Indonesia.
Inisiatif ini bertujuan untuk menciptakan ketahanan ekologi, khususnya di area yang rentan terhadap bencana. Keberhasilan program perlindungan lahan gambut sangat bergantung pada komitmen semua pihak, baik pemerintah pusat maupun daerah, untuk menyinkronkan program dan upaya yang dilakukan.
Reformasi Tata Kelola Lahan Gambut Pasca-Kebakaran 2015
Reformasi tata kelola lahan gambut di Indonesia secara signifikan dimulai setelah terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang parah pada tahun 2015. Peristiwa tersebut mendorong pemerintah untuk menyusun Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPP-EG), yang kini menjadi landasan utama bagi semua kegiatan restorasi dan pemantauan.
Sebagai bagian dari upaya ini, Badan Restorasi Gambut (BRG) dibentuk pada tahun 2014, yang kemudian diperluas menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) pada tahun 2019. Meskipun BRGM tidak lagi beroperasi sebagai lembaga independen, program-program yang telah dirintisnya terus dilanjutkan dan diintegrasikan ke dalam kebijakan nasional.
Langkah-langkah ini menunjukkan komitmen serius pemerintah dalam mengatasi masalah kebakaran lahan gambut yang seringkali berulang. Fokus utama adalah pada pemulihan ekosistem yang rusak serta pencegahan insiden di masa mendatang melalui pendekatan yang lebih terstruktur dan komprehensif.
Integrasi Kebijakan dan Upaya Pencegahan Kebakaran
Perlindungan dan pengelolaan lahan gambut serta mangrove kini telah terintegrasi penuh ke dalam kebijakan nasional. Hal ini tercermin melalui berbagai regulasi turunan, seperti Pemetaan Mangrove Nasional, yang diharapkan menjadi kerangka kerja untuk merehabilitasi ekosistem rentan seperti wilayah pesisir dan lahan gambut.
Manajemen lahan gambut tidak hanya berfokus pada restorasi, tetapi juga mencakup tindakan pencegahan kebakaran yang proaktif. Salah satu aspek penting adalah peningkatan kapasitas masyarakat lokal, yang diberdayakan untuk menjadi garda terdepan dalam menjaga lingkungan mereka.
Semua komponen program ini diarahkan untuk membangun ketahanan ekologi, terutama di area yang rawan bencana. Dengan melibatkan masyarakat dan mengintegrasikan kebijakan, diharapkan dapat tercipta sistem yang lebih tangguh dan berkelanjutan dalam menghadapi ancaman kebakaran.
Komitmen Bersama untuk Ketahanan Ekologi
Sigit Relianto menyatakan keyakinannya bahwa keberhasilan regulasi perlindungan lahan gambut sangat bergantung pada komitmen dari semua pihak. Sinkronisasi program antara pemerintah pusat dan daerah menjadi esensial untuk memastikan implementasi yang efektif di lapangan.
Kementerian Lingkungan Hidup telah menjadwalkan kunjungan ke beberapa area rawan kebakaran, seperti Riau, Sumatera Selatan, dan Jambi. Kunjungan ini bertujuan untuk mengevaluasi kebijakan pengelolaan lahan gambut yang ada dan menilai kebutuhan akan revisi kebijakan teknis.
Data dari Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa pada tahun 2025, sekitar 80,15 persen dari 8.594 hektare lahan yang terbakar sepanjang tahun merupakan lahan gambut. Angka ini menegaskan urgensi perlindungan lahan gambut, yang merupakan sistem ekologi kompleks dan jika rusak dapat menyebabkan bencana besar.