Urgensi Pengakuan Hak Milik Tanah untuk Koperasi: Solusi Keadilan Agraria?
Pentingnya pengakuan hak milik tanah bagi koperasi di Indonesia dibahas dalam FGD, sebagai solusi atas ketimpangan agraria dan kemiskinan, sekaligus implementasi reforma agraria yang berkeadilan.

Jakarta, 4 Mei 2024 - Sebuah diskusi kelompok terfokus (FGD) yang membahas urgensi pengakuan hak milik tanah bagi koperasi di Indonesia baru-baru ini digelar. FGD yang diinisiasi oleh Forum Koperasi Indonesia (Forkopi) bersama Panitia Kerja (Panja) RUU Perkoperasian DPR RI ini menyoroti permasalahan mendasar yang dihadapi koperasi terkait kepemilikan tanah dan bagaimana hal ini dapat diatasi. Permasalahan ini melibatkan berbagai pihak, termasuk akademisi, anggota DPR, dan perwakilan dari Kementerian ATR/BPN.
Prof. Dr. Elita Rahmi, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jambi, menyatakan bahwa selama ini banyak koperasi terpaksa menggunakan modus pinjam nama untuk kepemilikan tanah karena belum diakui sebagai subjek hukum yang sah. Praktik ini, menurutnya, merupakan bentuk penyelundupan hukum yang harus dihentikan. Elita menekankan pentingnya revisi UU Perkoperasian untuk memasukkan klausul eksplisit yang memberikan hak milik tanah kepada koperasi, dengan mekanisme pengawasan dan peralihan hak yang jelas.
FGD ini juga dihadiri oleh Anggota Panja RUU Perkoperasian DPR RI, Karmila Sari, yang mendukung aspirasi Forkopi. Meskipun mendukung pemberian hak milik tanah kepada koperasi, Karmila menekankan perlunya pengaturan yang jelas dan terukur untuk mencegah penyalahgunaan dan konflik kepemilikan di masa mendatang, terutama jika koperasi dibubarkan. Pertemuan ini dihadiri oleh tokoh-tokoh penting, termasuk perwakilan Menteri ATR/BPN dan Tenaga Ahli Utama Kantor Komunikasi Kepresidenan Ujang Komarudin, serta perwakilan dari 13 elemen koperasi di seluruh Indonesia.
Permasalahan Kepemilikan Tanah Koperasi di Indonesia
Prof. Elita Rahmi dalam paparannya menjelaskan ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia dan bagaimana hak milik untuk koperasi dapat menjadi solusi struktural untuk mengatasi kemiskinan agraria. Ia mengingatkan bahwa Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan PP 38 Tahun 1963 sebenarnya telah memberikan ruang bagi badan hukum, termasuk koperasi, khususnya koperasi pertanian, untuk memiliki hak milik atas tanah. Namun, implementasinya selama lebih dari 60 tahun belum optimal.
Menurutnya, "Koperasi bukan hanya instrumen ekonomi, tetapi wujud filosofi ekonomi Pancasila: demokrasi ekonomi berbasis kekeluargaan." Dengan pengakuan hak milik, koperasi dapat menggunakan tanah sebagai jaminan usaha, membeli atau menerima redistribusi tanah secara legal, dan menjalankan fungsi sosialnya untuk kesejahteraan anggota. Elita menyebut hal ini sebagai bagian dari reforma agraria yang sesungguhnya.
Ia juga mengusulkan agar revisi UU Perkoperasian menyertakan klausul eksplisit yang menyatakan koperasi dapat memiliki tanah dengan status hak milik, dengan mekanisme pengawasan dan peralihan hak yang diatur oleh Kementerian Koperasi. Dengan demikian, masalah penggunaan modus pinjam nama yang selama ini menjadi praktik umum dapat diatasi.
Sementara itu, Karmila Sari menambahkan bahwa dukungan DPR terhadap pemberian hak milik tanah kepada koperasi bersifat prinsipil, namun harus disertai dengan pengaturan yang jelas dan terukur untuk mencegah penyalahgunaan dan konflik kepemilikan di kemudian hari. Hal ini penting untuk melindungi hak-hak anggota koperasi dan masyarakat.
Dukungan dan Tantangan Menuju Reforma Agraria Berkeadilan
FGD ini menjadi wadah penting untuk membahas isu krusial terkait kepemilikan tanah koperasi. Kehadiran perwakilan dari berbagai pihak, mulai dari akademisi, legislatif, hingga pemerintah, menunjukkan komitmen bersama untuk mencari solusi yang tepat. Dukungan terhadap pemberian hak milik tanah kepada koperasi muncul sebagai langkah nyata menuju reforma agraria yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Namun, tantangannya terletak pada implementasi kebijakan tersebut. Perlu adanya pengaturan yang detail dan komprehensif untuk memastikan bahwa hak milik tanah bagi koperasi tidak disalahgunakan dan tidak menimbulkan konflik baru. Mekanisme pengawasan dan peralihan hak yang jelas dan transparan sangat penting untuk keberhasilan program ini. Dengan demikian, koperasi dapat menjalankan fungsinya secara optimal dan berkontribusi pada kesejahteraan anggota dan masyarakat luas.
Kesimpulannya, FGD ini menghasilkan konsensus penting terkait perlunya pengakuan hak milik tanah bagi koperasi di Indonesia. Langkah ini diharapkan dapat menjadi solusi struktural terhadap kemiskinan agraria dan mewujudkan reforma agraria yang berkeadilan dan berkelanjutan. Namun, keberhasilannya bergantung pada implementasi kebijakan yang tepat dan komprehensif, termasuk pengaturan yang jelas terkait pengawasan dan peralihan hak milik.