RUU Perkoperasian: Desakan Pengesahan dan Kekhawatiran Sanksi Pidana yang Terlalu Ketat
Forkopi mendesak Baleg dan Komisi VI DPR untuk segera mengesahkan RUU Perkoperasian, namun kekhawatiran muncul terkait sanksi pidana yang dinilai terlalu ketat dan berpotensi menghambat perkembangan koperasi.

Jakarta, 7 Maret 2024 - Forum Koperasi Indonesia (Forkopi) dengan tegas mendorong Badan Legislasi (Baleg) DPR dan Komisi VI DPR untuk segera mengesahkan Revisi Undang-Undang (RUU) Perkoperasian, atau RUU Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasi. Desakan ini muncul karena undang-undang yang berlaku saat ini dinilai sudah usang dan tak lagi mengakomodir kebutuhan koperasi modern. Ketua Presidium Forkopi, Andy Arslan Djunaid, menyatakan, "Karena sudah 33 tahun undang-undang yang lama dan itu sudah tidak mengakomodir kepentingan dari koperasi pada saat ini."
Konsinyering antara Forkopi dan Baleg DPR RI pada Jumat lalu membahas hal ini secara intensif. Wakil Ketua Baleg DPR, Sturman Panjaitan, memimpin pertemuan yang dihadiri oleh puluhan anggota Baleg dari berbagai fraksi dan perwakilan Forkopi dari berbagai daerah di Indonesia. Andy Arslan Djunaid menyampaikan harapan agar revisi RUU ini memperhatikan aspirasi para pelaku koperasi di seluruh Indonesia, sekaligus mendukung visi Presiden terkait pengembangan koperasi.
Pertemuan tersebut bukan hanya sekadar menyampaikan tuntutan. Forkopi telah melakukan berbagai upaya, termasuk diskusi dengan berbagai pihak dan harmonisasi dengan pemerintah, untuk memastikan revisi RUU ini mengakomodir kebutuhan koperasi Indonesia. Mereka berharap revisi ini dapat mendorong pertumbuhan koperasi dan memberikan kontribusi positif bagi perekonomian nasional.
Perdebatan Mengenai Sanksi Pidana
Meskipun dukungan terhadap revisi RUU Perkoperasian tinggi, perdebatan muncul mengenai sanksi pidana yang tercantum dalam RUU tersebut. Anggota DPR RI, Habib Syarif Muhammad, menyoroti perlunya keseimbangan dalam perumusan ketentuan hukum. Beliau mengingatkan agar pendekatan yang terlalu kaku tidak menghambat semangat gotong royong dan partisipasi anggota koperasi. "Jika regulasi terlalu rigid (pidana), saya khawatir akan mengurangi spirit koperasi. Kita perlu kearifan dalam menyikapi ini, karena koperasi anggota adalah tulang punggungnya," ujar Habib.
Habib juga menekankan perbedaan karakteristik koperasi besar dan kecil. Ia khawatir jika aturan hukum yang terlalu ketat diterapkan secara merata, koperasi kecil yang dikelola dengan semangat gotong royong akan terbebani. "Jika semua disamaratakan dengan pendekatan hukum yang terlalu ketat, koperasi bisa menjadi seperti menara gading yang sulit dijangkau," tambahnya. Beliau menyoroti pasal-pasal yang mengatur sanksi pidana, khususnya bagi pengurus koperasi yang mengelola koperasi secara sukarela.
Senada dengan Habib, dua akademisi, Prof. Angkasa dan Prof. Rena Yulia, mengkritisi beberapa pasal dalam RUU yang berpotensi menimbulkan over-kriminalisasi dan bertentangan dengan prinsip hukum pidana modern. Prof. Angkasa menjelaskan bahwa hukuman penjara yang terlalu singkat justru tidak efektif dan dapat meningkatkan residivisme. Beliau mencontohkan Pasal 64M dan 64N yang mengatur sanksi pidana penjara maksimal 1 tahun bagi pengurus koperasi yang melanggar ketentuan dalam usaha simpan pinjam, yang dianggap tidak sejalan dengan konsep ultimum remedium.
Prof. Rena menambahkan pentingnya perumusan tindak pidana yang jelas dan proporsional untuk menghindari ketidakpastian hukum. Ia menekankan bahwa hukum pidana dalam undang-undang administratif seharusnya hanya sebagai pengaman norma administratif, bukan sebagai alat utama penegakan aturan. "Hukum pidana tidak boleh digunakan secara berlebihan dalam regulasi administratif. Seharusnya, pidana hanya digunakan untuk menegakkan aturan yang benar-benar penting dan berpotensi menimbulkan kerugian signifikan jika dilanggar," tegas Prof. Rena.
Harapan Forkopi dan Tantangan ke Depan
Forkopi berharap DPR dapat mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, termasuk para akademisi dan praktisi koperasi, dalam penyusunan RUU Perkoperasian. Mereka menekankan pentingnya regulasi yang mendukung pertumbuhan koperasi, sekaligus melindungi anggota dan pengurus dari potensi penyalahgunaan. RUU ini diharapkan dapat menjadi landasan hukum yang kuat bagi perkembangan koperasi di Indonesia, sejalan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan perekonomian kerakyatan.
Ke depan, tantangannya adalah menemukan titik temu antara perlunya regulasi yang kuat untuk mencegah penyalahgunaan dan perlunya fleksibilitas agar tidak menghambat semangat gotong royong dan partisipasi aktif anggota koperasi. Proses legislasi ini membutuhkan dialog dan kompromi yang konstruktif dari semua pihak yang terlibat.