Wamenkumkum Tolak Konsep Hakim Komisaris dalam RUU KUHAP
Wakil Menteri Hukum dan HAM menolak konsep Hakim Komisaris dalam RUU KUHAP karena dinilai membebani hakim dan kurang efektif, mendorong perluasan dan penguatan sistem praperadilan.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Edward Hiariej, menyatakan penolakannya terhadap konsep Hakim Komisaris atau Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Konsep yang diusulkan sebagai pengganti sistem praperadilan ini dinilai memiliki sejumlah kelemahan.
Pernyataan penolakan tersebut disampaikan Eddy, sapaan akrab Wamenkumham, dalam Seminar Nasional Kebaharuan KUHP Nasional dan Urgensi Pembaharuan KUHAP pada Jumat lalu. Beliau menjelaskan bahwa beban perkara yang sudah sangat banyak ditanggung hakim, ditambah kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari berbagai pulau dan tenggat waktu yang ketat, akan menyulitkan penerapan sistem Hakim Komisaris.
Meskipun demikian, Wamenkumham mengakui beberapa poin positif dalam konsep Hakim Komisaris, terutama terkait perlunya perluasan dan penguatan sistem praperadilan di Indonesia. Menurutnya, sistem praperadilan yang lebih kuat dan luas cakupannya sangat penting untuk menjamin penegakan hukum yang adil dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum.
Perluasan dan Penguatan Sistem Praperadilan
Wamenkumham Edward Hiariej menekankan bahwa hukum acara pidana bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, bukan untuk memproses tersangka. Oleh karena itu, beliau mengusulkan perluasan sistem praperadilan agar mencakup semua upaya paksa, termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat. Saat ini, sistem praperadilan masih terbatas pada hal-hal seperti penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan penuntutan, rehabilitasi, dan ganti rugi.
Lebih lanjut, Wamenkumham juga menyoroti pentingnya memperkuat cara memperoleh bukti dalam sistem peradilan Indonesia. Dalam kerangka due process of law, yang diadopsi KUHP, terdapat istilah unlawful legal evidence atau bukti hukum yang tidak sah. RUU KUHAP, menurutnya, harus selaras dengan prinsip ini.
Wamenkumham menegaskan, "Bahwa perolehan bukti dengan jalan yang tidak sah itu tidak boleh diperhitungkan sebagai bukti di dalam pemeriksaan perkara." Hal ini menunjukkan komitmen beliau terhadap prinsip keadilan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam proses peradilan.
RUU KUHAP dan Program Legislasi Nasional
DPR RI telah menyetujui RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi RUU usul inisiatif DPR RI pada Selasa, 18 Februari 2025. Persetujuan ini dicapai setelah seluruh fraksi partai politik menyampaikan pandangan tertulis.
Komisi III DPR RI telah memulai pembahasan RUU KUHAP dengan mengundang berbagai narasumber, termasuk Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. RUU ini termasuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 dan dianggap urgen untuk segera dibahas mengingat berlakunya KUHP baru pada 2 Januari 2026.
Pengesahan KUHAP dinilai penting karena merupakan hukum formal yang mengoperasikan KUHP sebagai hukum materiil. Oleh karena itu, semangat politik hukum KUHAP harus sejalan dengan semangat politik hukum yang terkandung dalam KUHP.
Kesimpulannya, perdebatan seputar RUU KUHAP, khususnya terkait konsep Hakim Komisaris, menunjukkan kompleksitas reformasi hukum di Indonesia. Perluasan dan penguatan sistem praperadilan, serta penegasan prinsip due process of law, menjadi poin penting yang perlu diperhatikan dalam penyusunan RUU ini agar tercipta sistem peradilan yang lebih adil dan efektif.