Gugat UU TNI, Pemohon Minta Prajurit di Jabatan Sipil Wajib Mundur
Enam pemohon uji materi UU TNI meminta MK mengatur agar prajurit di seluruh jabatan sipil wajib mundur atau pensiun, demi menegakkan supremasi sipil dan menghindari konflik kepentingan.
Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menyidang perkara uji materi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Perkara Nomor 68/PUU-XXIII/2025 ini diajukan oleh enam pemohon, yang terdiri dari advokat, konsultan hukum, dan mahasiswa. Mereka meminta MK untuk mengubah Pasal 47 ayat (2) UU TNI yang dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan prinsip supremasi sipil.
Intinya, para pemohon meminta agar seluruh prajurit TNI yang menduduki jabatan sipil, termasuk di 14 kementerian/lembaga yang diizinkan dalam Pasal 47 ayat (1) UU TNI, wajib mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Mereka berpendapat bahwa pasal tersebut memberikan privilese kepada prajurit TNI dan berpotensi memicu intervensi militer dalam pemerintahan sipil. Sidang pendahuluan telah digelar pada Jumat lalu di Jakarta.
Salah satu pemohon, Prabu Sutisna, menyatakan bahwa Pasal 47 ayat (2) UU TNI yang berbunyi 'Selain menduduki jabatan pada kementerian/lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), prajurit dapat menduduki jabatan sipil lain setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan' terlalu ambigu dan rentan penafsiran yang keliru. Hal ini, menurutnya, dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, khususnya terkait penegakan hukum jika prajurit TNI yang bertugas di sipil tersandung kasus hukum.
Ketidakpastian Hukum dan Intervensi Militer
Para pemohon berargumen bahwa Pasal 47 ayat (2) UU TNI menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak memberikan batasan yang jelas mengenai jabatan sipil yang boleh diduduki oleh prajurit TNI. Mereka khawatir hal ini dapat membuka celah bagi intervensi militer dalam pemerintahan sipil dan mengaburkan pemisahan tegas antara ranah militer dan sipil.
Prabu Sutisna menambahkan, "Para pemohon bertanya-tanya, bagaimana jika prajurit TNI tersandung kasus tindak pidana atau administrasi dalam jabatan a quo apakah tunduk pada hukum acara peradilan militer atau hukum acara sipil? Menurut penalaran yang wajar, jawaban dari pertanyaan a quo hanyalah ketidakpastian hukum."
Lebih lanjut, pemohon juga menyoroti potensi konflik kepentingan yang dapat muncul akibat keberadaan prajurit TNI di jabatan sipil. Mereka menekankan pentingnya supremasi sipil dan menempatkan kepentingan warga sipil sebagai prioritas utama dalam pemerintahan.
Pemohon juga merasa hak konstitusionalnya dirugikan karena pasal tersebut dinilai tidak mengedepankan prinsip supremasi sipil. Mereka menganggap pasal tersebut memberikan keistimewaan yang tidak adil bagi prajurit TNI dibandingkan warga sipil lainnya.
Permintaan Perubahan Pasal 47 Ayat (2)
Oleh karena itu, para pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 47 ayat (2) UU TNI bertentangan dengan konstitusi. Mereka mengusulkan agar pasal tersebut dimaknai sebagai: 'Prajurit dapat menduduki jabatan pada kementerian/lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau jabatan sipil lain setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.'
Dengan perubahan tersebut, diharapkan dapat tercipta kepastian hukum dan penegakan supremasi sipil yang lebih kuat. Permohonan ini diharapkan dapat mencegah potensi konflik kepentingan dan intervensi militer dalam pemerintahan sipil, serta melindungi hak konstitusional warga sipil.
Perkara ini kini tengah diproses oleh MK dan akan terus menjadi sorotan publik. Keputusan MK nantinya akan memiliki implikasi penting bagi hubungan sipil-militer di Indonesia dan penegakan supremasi hukum.
Selain Prabu Sutisna, pemohon lainnya yang turut menandatangani gugatan ini antara lain Haerul Kusuma, Noverianus Samosir, Christian Adrianus Sihite, Fachri Rasyidin dan Chandra Jakaria.