Mantan Wali Kota Semarang dan Suami Didakwa Terima Suap Rp9 Miliar
Hevearita G. Rahayu dan Alwin Basri didakwa menerima suap dan gratifikasi senilai Rp9 miliar terkait berbagai proyek di Kota Semarang.
Mantan Wali Kota Semarang, Hevearita G. Rahayu, dan suaminya, Alwin Basri, mantan Ketua PKK Kota Semarang, didakwa menerima suap dan gratifikasi total Rp9 miliar. Dakwaan tersebut dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Rio Vernika Putra dalam sidang di Pengadilan Tipikor Semarang pada Senin. Kasus ini melibatkan tiga perkara berbeda yang menjerat kedua terdakwa.
Dakwaan pertama terkait penerimaan suap dari proyek pengadaan barang dan jasa. Direktur PT Chimader 777, Martono, dan Direktur Utama PT Deka Sari Perkasa, Rachmat Utama Djangkar, diduga memberikan suap kepada Alwin Basri. Alwin diduga meminta Rp1 miliar dari Martono sebagai komitmen fee untuk biaya pelantikan Hevearita sebagai Wali Kota Semarang. Jumlah yang sama juga diminta Alwin dari Djangkar yang mendapatkan proyek pengadaan meja dan kursi senilai Rp20 miliar.
Selain itu, Djangkar memberikan komitmen fee sebesar Rp1,7 miliar kepada terdakwa. Dakwaan kedua terkait pemotongan pembayaran pegawai negeri di Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Semarang. Hevearita dan Alwin diduga menerima potongan tersebut yang berjumlah Rp1,8 miliar untuk Hevearita dan Rp1,2 miliar untuk Alwin. Bapenda juga memberikan uang sebesar Rp383 juta untuk keperluan pribadi Hevearita. Dakwaan ketiga melibatkan penerimaan gratifikasi dari proyek di 16 kecamatan di Kota Semarang senilai Rp16 miliar, dengan masing-masing terdakwa menerima Rp2 miliar.
Dakwaan Suap dan Gratifikasi
Jaksa mendakwa Hevearita dan Alwin menerima suap dari dua direktur perusahaan yang mendapatkan proyek di Kota Semarang. "Terdakwa Alwin Basri meminta komitmen fee sebesar Rp1 miliar untuk keperluan biaya pelantikan Heveaeita G. Rahayu sebagai Wali Kota Semarang," ujar jaksa Rio Vernika Putra. Pemberian suap ini terkait dengan proyek pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kota Semarang.
Selain itu, dakwaan juga menyebutkan adanya penerimaan suap dari proyek pengadaan meja dan kursi senilai Rp20 miliar. Atas proyek tersebut, terdakwa menerima komitmen fee sebesar Rp1,7 miliar. Total suap yang diterima oleh kedua terdakwa dari dua proyek ini mencapai Rp3,7 miliar.
Modus operandi yang digunakan dalam penerimaan suap ini diduga melalui permintaan langsung dari Alwin Basri kepada para direktur perusahaan. Hal ini menunjukkan adanya dugaan penyalahgunaan wewenang dan jabatan untuk memperkaya diri sendiri.
Pemotongan Insentif Pegawai Bapenda
Dakwaan kedua menjelaskan mengenai pemotongan insentif pegawai di Bapenda Kota Semarang. Hevearita dan Alwin diduga menerima potongan dari insentif pemungutan pajak dan tambahan penghasilan pegawai. Total potongan yang diterima Hevearita mencapai Rp1,8 miliar, sementara Alwin menerima Rp1,2 miliar.
Uang tersebut merupakan penyisihan pendapatan pegawai Bapenda yang disebut sebagai "iuran kebersamaan." Selain itu, Bapenda juga memberikan uang sebesar Rp383 juta untuk membiayai keperluan pribadi Hevearita. Praktik ini menunjukkan adanya dugaan korupsi yang merugikan keuangan negara dan melanggar aturan.
Pemotongan insentif ini diduga dilakukan secara sistematis dan terstruktur, melibatkan beberapa pihak di lingkungan Bapenda. Hal ini menunjukkan adanya dugaan pelanggaran kode etik dan hukum yang serius.
Gratifikasi Proyek di 16 Kecamatan
Dakwaan ketiga menjelaskan mengenai penerimaan gratifikasi dari proyek di 16 kecamatan di Kota Semarang. Proyek yang dilakukan melalui penunjukan langsung ini bernilai Rp16 miliar. Hevearita dan Alwin diduga menerima gratifikasi sebesar Rp2 miliar masing-masing, tanpa melaporkan hal tersebut kepada KPK.
Penerimaan gratifikasi ini menunjukkan adanya dugaan penyalahgunaan wewenang dan jabatan untuk memperkaya diri sendiri. Hal ini merupakan pelanggaran hukum yang serius dan dapat merugikan keuangan negara.
Modus operandi dalam penerimaan gratifikasi ini diduga dilakukan melalui mekanisme penunjukan langsung proyek. Hal ini menunjukkan adanya dugaan kolusi dan nepotisme dalam pengadaan proyek di lingkungan Pemerintah Kota Semarang.
Kedua terdakwa dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 11, dan Pasal 12 huruf f, dan Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Mereka memilih untuk tidak mengajukan eksepsi dan meminta sidang dilanjutkan dengan pemeriksaan terdakwa.