300 Terpidana Mati Menunggu Eksekusi: Diplomasi Jadi Kendala Utama
Menteri Koordinator Bidang Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, mengungkapkan bahwa 300 terpidana mati, sebagian besar WNA, belum dieksekusi karena pertimbangan diplomasi dan arahan Presiden.
![300 Terpidana Mati Menunggu Eksekusi: Diplomasi Jadi Kendala Utama](https://cdns.klimg.com/mav-prod-resized/0x0/ori/image_bank/2025/02/06/230052.233-300-terpidana-mati-menunggu-eksekusi-diplomasi-jadi-kendala-utama-1.jpg)
Jakarta, 6 Februari 2024 - Sebanyak 300 terpidana mati masih menanti eksekusi di Indonesia. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham), Yusril Ihza Mahendra. Penyebab utama penundaan eksekusi ini ternyata bukan hanya soal teknis, melainkan juga karena pertimbangan diplomasi internasional yang rumit.
Diplomasi Internasional dan Eksekusi Mati
Menurut Yusril, eksekusi mati, khususnya terhadap warga negara asing (WNA), sangat sensitif dan berdampak pada hubungan bilateral Indonesia dengan negara lain. "Persoalannya karena ini menyangkut negara-negara lain, pertimbangan kemanusiaan dan lain-lain, orang mengajukan grasi dan lain-lain kepada presiden, akibatnya banyak sekali pelaksanaan hukuman mati itu yang tertunda pelaksanaannya," jelas Yusril usai peluncuran buku IRIAN BARAT: Bayang-Bayang Intrik Global di Balik Misteri Pembunuhan Kennedy di Jakarta.
Ia menambahkan bahwa keputusan eksekusi mati, termasuk kemungkinan pemulangan terpidana mati ke negara asal, selalu mempertimbangkan arahan Presiden. Koordinasi intensif dengan Kejaksaan Agung (Kejagung) terus dilakukan untuk menangani kasus ini. Kejagung, sebagai pihak yang berwenang melakukan eksekusi, berperan penting dalam proses ini.
Kasus Mary Jane Veloso dan Serge Atlaoui
Yusril mencontohkan kasus Mary Jane Veloso (Filipina) dan Serge Areski Atlaoui (Prancis), dua terpidana mati WNA yang dipulangkan ke negara asal. Sebelum pemulangan, Yusril mengirimkan surat kepada Jaksa Agung ST Burhanuddin, menyatakan persetujuan pemerintah dan arahan Presiden untuk memulangkan mereka. "Karena pada akhirnya mengenai pertimbangan narapidana dieksekusi mati atau tidak maupun dilakukan transfer of prisoner ke negara asalnya, semuanya merupakan arahan dari Pak Presiden sendiri," tegasnya.
Pernyataan Jaksa Agung
Sebelumnya, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengungkapkan bahwa dari 300 terpidana mati, sebagian besar adalah WNA, mayoritas terlibat kasus narkoba dari Eropa, Amerika, dan Nigeria. Kerja sama dengan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dilakukan dalam menangani kasus-kasus ini. Namun, eksekusi terhambat karena pertimbangan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara terkait.
Burhanuddin menyinggung pernyataan Menteri Luar Negeri sebelumnya, Retno Marsudi, yang meminta penundaan eksekusi untuk menghindari dampak negatif terhadap hubungan internasional Indonesia. Pemerintah juga mempertimbangkan nasib WNI yang menjadi terpidana di luar negeri. "Jadi, memang saya bilang, capek-capek kami sudah menuntut hukuman mati, tidak bisa dilaksanakan. Itu mungkin problematika kita," ujar Burhanuddin.
Kesimpulan
Kasus 300 terpidana mati yang belum dieksekusi ini menyoroti kompleksitas isu hukuman mati di Indonesia. Pertimbangan hukum, kemanusiaan, dan diplomasi internasional menjadi faktor krusial yang mempengaruhi proses eksekusi. Koordinasi antar lembaga pemerintah, khususnya Kejagung dan Kemenlu, sangat penting untuk menemukan solusi yang tepat dan seimbang.