Kendala Penerapan Hukuman Mati di Indonesia: Diplomasi dan Pertimbangan WNI
Jaksa Agung mengungkapkan kendala pelaksanaan hukuman mati di Indonesia, terutama terkait 300 terpidana mati, banyaknya WNA, dan pertimbangan hubungan diplomatik serta nasib WNI di luar negeri.
Jaksa Agung ST Burhanuddin baru-baru ini mengungkapkan tantangan dalam pelaksanaan hukuman mati di Indonesia. Meskipun terdapat sekitar 300 terpidana mati, sebagian besar warga negara asing (WNA), proses eksekusi menghadapi kendala signifikan.
Diplomasi Internasional dan Hukuman Mati
Banyaknya terpidana mati WNA, terutama dari kasus narkoba yang berasal dari Eropa, Amerika, dan Nigeria, membuat pelaksanaan hukuman mati menjadi rumit. Kerja sama dengan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) diperlukan, namun hubungan diplomatik menjadi pertimbangan utama. Jaksa Agung menuturkan, "Kami pernah beberapa kali bicara, waktu itu menteri luar negerinya masih Ibu (Retno Marsudi, red.), ‘Kami masih berusaha untuk menjadi anggota ini, anggota ini. Tolong jangan dahulu. Nanti kami akan diserangnya nanti,'" menunjukkan betapa kompleksnya situasi ini.
Pertimbangan ini bukan tanpa alasan. Pemerintah Indonesia juga mempertimbangkan nasib Warga Negara Indonesia (WNI) yang menjadi terpidana di negara lain. Sebuah situasi yang menciptakan dilema dalam penegakan hukum. "Jadi, memang saya bilang, capek-capek kami sudah menuntut hukuman mati, tidak bisa dilaksanakan. Itu mungkin problematika kita," tambah Jaksa Agung.
Kasus Serge Areski Atlaoui: Studi Kasus Pemulangan Terpidana Mati
Kasus pemulangan Serge Areski Atlaoui, terpidana mati kasus narkotika asal Prancis, menjadi contoh nyata kendala ini. Pemulangannya merupakan hasil kesepakatan bilateral antara Indonesia dan Prancis, didasari pertimbangan kondisi kesehatan Serge. Kesepakatan ini juga mensyaratkan Prancis mengakui putusan pengadilan Indonesia dan bertanggung jawab atas pembinaan Serge setelah dipindahkan.
Staf Khusus Bidang Hubungan Internasional Ahmad Usmarwi Kaffah menjelaskan, "Pemerintah Prancis wajib mengakui putusan pengadilan Indonesia. Dalam hal ini, Prancis mesti mengakui bahwa Serge, warga negaranya itu, merupakan narapidana yang dijatuhi hukuman mati." Indonesia, dalam hal ini, menghormati kebijakan selanjutnya yang diambil Prancis, termasuk kemungkinan pemberian grasi.
Kesimpulan: Dilema antara Penegakan Hukum dan Hubungan Internasional
Penerapan hukuman mati di Indonesia menghadapi tantangan kompleks yang melibatkan pertimbangan hukum domestik dan dinamika hubungan internasional. Dilema antara penegakan hukum dan mempertahankan hubungan diplomatik yang baik dengan negara lain menjadi fokus utama. Kasus-kasus seperti Serge Atlaoui menunjukkan betapa rumitnya menyeimbangkan kedua hal tersebut. Ke depannya, diperlukan strategi yang lebih komprehensif untuk mengatasi kendala ini, mempertimbangkan aspek hukum, diplomasi, dan keadilan secara menyeluruh.