DPR Desak Hukuman Maksimal untuk Kapolres Ngada yang Cabuli Anak
Anggota DPR Selly Andriany Gantina mendesak hukuman maksimal untuk Kapolres Ngada nonaktif, AKBP Fajar, atas pencabulan terhadap tiga anaknya dan dugaan penyalahgunaan narkoba.

Jakarta, 11 Maret 2024 - Anggota Komisi VIII DPR RI, Selly Andriany Gantina, dengan tegas mendesak aparat penegak hukum untuk menjatuhkan hukuman maksimal kepada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, Kapolres Ngada nonaktif. AKBP Fajar diduga telah mencabuli tiga anaknya yang masih di bawah umur. Peristiwa ini terjadi di Ngada, Nusa Tenggara Timur, dan telah menggemparkan publik Indonesia.
Selly menyatakan, "Harus dihukum maksimal, apalagi dia sebagai Kapolres. Seharusnya memberi contoh, bukan merenggut masa depan anaknya sendiri, benar-benar perbuatan biadab." Pernyataan tersebut disampaikan dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta pada Selasa. Kasus ini menyoroti betapa pentingnya penegakan hukum yang tegas terhadap kejahatan seksual, terutama yang dilakukan oleh oknum pejabat publik.
Kejahatan yang dilakukan AKBP Fajar bukan hanya pencabulan dan perekaman tindakan tersebut, tetapi juga dugaan keterlibatan dalam penyalahgunaan narkoba jenis sabu. Meskipun AKBP Fajar telah dicopot dari jabatannya dan tengah dalam proses pemberhentian tidak hormat dari Polri, Selly menegaskan hal tersebut tidak cukup memberikan rasa keadilan. Ia menekankan perlunya hukuman yang setimpal atas tindakan keji yang telah dilakukan.
Tuntutan Hukuman Maksimal dan UU yang Berlaku
Selly menjelaskan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, AKBP Fajar harus mendapatkan hukuman maksimal. Pasal 13 UU TPKS, misalnya, mengancam hukuman 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp5 miliar. Namun, mengingat status AKBP Fajar sebagai pejabat daerah dan pelaku kejahatan terhadap keluarganya sendiri, hukuman dapat diperberat sepertiga atau ditambah 5 tahun penjara.
Lebih lanjut, tindakan perekaman aksi pencabulan dapat dikenakan hukuman tambahan 4 tahun penjara. "Artinya, bila di-juncto-kan, maka serendahnya dia bisa dikenai hukuman 20 tahun. Tapi karena bejatnya, saya pikir hukuman seumur hidup atau mati lebih pantas," tegas Selly. Pernyataan ini menunjukkan betapa seriusnya DPR memandang kasus ini dan betapa besarnya tuntutan masyarakat akan keadilan.
Selain itu, Selly juga menekankan pentingnya perlindungan terhadap anak dan perempuan. Mengutip mandat Ketua DPR RI Puan Maharani, ia menyatakan bahwa perlindungan anak dan perempuan harus menjadi prioritas utama dalam sistem hukum dan kebijakan negara. Kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya perlindungan anak dan penegakan hukum yang tegas terhadap kejahatan seksual.
Perlindungan Anak dan Perempuan sebagai Prioritas
Kasus ini, menurut Selly, juga menjadi bukti nyata bahwa kejahatan terhadap anak merupakan pelanggaran serius terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan tidak boleh dibiarkan terjadi di institusi mana pun, termasuk di lingkungan kepolisian. Pernyataan ini menggarisbawahi perlunya reformasi internal di kepolisian untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa mendatang. Pentingnya pengawasan dan penegakan disiplin internal menjadi sorotan utama pasca-terungkapnya kasus ini.
Lebih jauh, Selly berharap kasus ini menjadi momentum untuk memperkuat komitmen bersama dalam melindungi anak dan perempuan dari kekerasan seksual. Hal ini membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga penegak hukum, masyarakat, dan keluarga. Pencegahan dan edukasi sejak dini juga sangat penting untuk mencegah terjadinya kejahatan seksual terhadap anak.
Dengan demikian, kasus ini bukan hanya tentang hukuman bagi AKBP Fajar, tetapi juga tentang komitmen negara dalam melindungi anak dan perempuan serta menegakkan hukum secara adil dan tegas. Semoga kasus ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak dan mendorong terciptanya lingkungan yang aman dan melindungi bagi anak-anak Indonesia.