E-Voting Pemilu: Komisi II DPR RI Usulkan Formulir C1 Tetap Disediakan untuk Antisipasi Gugatan
Komisi II DPR RI menyarankan penerapan e-voting tetap sediakan formulir C1 manual sebagai bahan cross-checking dan antisipasi gugatan hasil pemilu.

Jakarta, 20 Mei 2024 - Komisi II DPR RI memberikan saran penting terkait rencana penerapan sistem pemilihan elektronik (e-voting) di Indonesia. Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf, menekankan perlunya tetap menyediakan formulir C1 yang dihitung secara manual. Hal ini bertujuan sebagai bahan cross-checking dan antisipasi jika terjadi gugatan hasil pemungutan suara.
Menurut Dede Yusuf, formulir C1 memiliki peran krusial sebagai dasar pengajuan gugatan sengketa hasil pemungutan suara ulang (PSU). Tanpa data C1, proses gugatan akan terhambat. "Kalau e-voting, begitu sudah naik, enggak punya lagi data C1 untuk melakukan gugatan. Nah, gugatan ini dibutuhkan secara fisik. Jadi, C1 masih tetap dibutuhkan. Nah, ini yang mungkin ke depan mesti kita pikirkan bersama," ujarnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (19/5).
Wacana penerapan e-voting pada pemilu mendatang terus bergulir. Dede Yusuf menilai, e-voting mungkin diterapkan di kota-kota besar dengan infrastruktur teknologi informasi yang memadai. Namun, ia mengingatkan perlunya pertimbangan matang terkait kesiapan infrastruktur di seluruh wilayah Indonesia.
Infrastruktur yang Belum Merata Jadi Kendala E-Voting
Dede Yusuf menyoroti kesenjangan infrastruktur teknologi informasi di berbagai daerah. Wilayah seperti Papua, Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan, termasuk Kalimantan Utara (Kaltara), dinilai belum siap untuk menerapkan e-voting secara optimal.
"Untuk beberapa wilayah kita, sebut kayak Papua, NTT (Nusa Tenggara Timur), Kalimantan, termasuk Kaltara (Kalimantan Utara), atau di daerah-daerah lain yang infrastruktur IT-nya masih belum maksimal, ini akan bermasalah. Satu, yang mestinya data itu real time, bisa delay, dan delay ini yang menyebabkan bisa terjadi sesuatu," jelas Dede.
Keterlambatan data (delay) menjadi perhatian utama karena berpotensi menimbulkan masalah baru dalam proses pemilu. Oleh karena itu, Dede Yusuf menekankan pentingnya simulasi penerapan e-voting di daerah yang infrastrukturnya sudah memadai sebelum diterapkan secara nasional.
Pentingnya Simulasi dan Evaluasi Sistem Keamanan E-Voting
Simulasi penerapan e-voting di daerah-daerah dengan infrastruktur yang mumpuni dianggap penting untuk menguji dan mengevaluasi sistem keamanan data. Hal ini bertujuan untuk menutup celah kebocoran data yang sering menjadi masalah dalam pemilu di Indonesia.
Dede Yusuf mencontohkan masalah yang terjadi saat penggunaan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) oleh KPU RI pada Pemilu 2024. Evaluasi yang cermat diharapkan dapat meminimalisir potensi kecurangan dan memastikan data terdata dengan baik.
"Dari situ kita bisa evaluasi apakah masih terjadi kecurangan? Apakah itu bisa terdata dengan baik?" ucapnya.
Simulasi ini juga menjadi langkah awal untuk merealisasikan penerapan e-voting yang lebih luas di Indonesia. Dede Yusuf mencontohkan negara India yang membutuhkan waktu 10 tahun untuk menyempurnakan sistem e-voting mereka.
Penerapan e-voting membutuhkan persiapan matang dan evaluasi berkelanjutan. Ketersediaan formulir C1 sebagai data manual menjadi langkah antisipasi yang penting untuk menjaga integritas dan akuntabilitas proses pemilu di era digital.