E-Voting di Pemilu 2029: Perlu Kajian Holistik dan Uji Coba Bertahap
Pengamat menyoroti perlunya kajian menyeluruh tentang infrastruktur, keamanan siber, literasi digital, dan regulasi sebelum menerapkan e-voting di Pemilu 2029, serta mengusulkan uji coba bertahap.
![E-Voting di Pemilu 2029: Perlu Kajian Holistik dan Uji Coba Bertahap](https://cdns.klimg.com/mav-prod-resized/0x0/ori/image_bank/2025/02/06/230304.093-e-voting-di-pemilu-2029-perlu-kajian-holistik-dan-uji-coba-bertahap-1.jpg)
Malang, 6 Februari 2024 - Penggunaan sistem e-voting dalam Pemilu 2029 tengah menjadi perbincangan hangat. Andhyka Muttaqin, pengamat politik dan kebijakan dari Universitas Brawijaya, menekankan perlunya kajian holistik sebelum penerapan sistem ini secara nasional. Pernyataan ini muncul setelah berbagai pihak, termasuk Komnas HAM dan anggota DPR, menyampaikan pandangan terkait potensi dan tantangan e-voting.
Infrastruktur dan Keamanan Siber: Tantangan Utama E-Voting
Andhyka menyorot empat unsur penting yang perlu dikaji: infrastruktur, keamanan siber, literasi digital, dan regulasi. Geografis Indonesia yang luas menjadi kendala utama. Tidak semua daerah memiliki akses internet stabil, sehingga penerapan e-voting perlu mempertimbangkan kesenjangan infrastruktur ini. Selain itu, sistem keamanan siber yang kuat mutlak diperlukan untuk mencegah manipulasi data dan serangan siber. "Jika e-voting diterapkan, maka harus ada sistem keamanan siber yang kuat untuk menghindari potensi serangan siber atau manipulasi data," tegas Andhyka.
Ia juga mengingatkan pentingnya pembelajaran dari negara lain. "Banyak negara mengalami polemik terkait kerentanan sistem e-voting, seperti kasus di Jerman dan Belanda, yang akhirnya kembali ke sistem pemilu konvensional," tambahnya. Hal ini menunjukkan perlunya antisipasi dan mitigasi risiko yang matang sebelum implementasi.
Literasi Digital dan Kesiapan Masyarakat
Aspek krusial lainnya adalah literasi digital masyarakat. Andhyka menekankan perlunya pemerintah dan daerah meningkatkan literasi digital, terutama di daerah pedesaan. "Sebagian masyarakat belum terbiasa dengan teknologi digital, terutama di pedesaan," ujarnya. Rendahnya literasi digital berpotensi menyebabkan kesalahpahaman informasi dan menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem e-voting, yang dapat mengancam stabilitas demokrasi.
Regulasi yang Kuat: Fondasi E-Voting yang Aman
Andhyka juga menyoroti pentingnya payung hukum yang kuat. Penerapan e-voting tanpa regulasi yang jelas berisiko menimbulkan polemik dan gugatan hukum. Ia mendesak pemerintah dan lembaga penyelenggara pemilu untuk mematangkan pembahasan regulasi dan memasukkannya dalam undang-undang kepemiluan serta Peraturan KPU. "Penerapan e-voting tanpa dibarengi dasar hukum yang kuat akan menghadirkan resiko berupa polemik dan gugatan hukum," jelasnya.
Uji Coba Bertahap: Langkah Bijak Menuju E-Voting Nasional
Sebagai kesimpulan, Andhyka menyatakan bahwa Indonesia belum sepenuhnya siap untuk menerapkan e-voting secara nasional pada Pemilu 2029. Ia menyarankan agar dilakukan uji coba bertahap, misalnya pada pemilihan daerah, untuk mengevaluasi dan memperbaiki sistem sebelum diterapkan secara menyeluruh. "Kesimpulannya, belum sepenuhnya siap untuk diterapkan dalam skala nasional pada Pemilu 2029, tetapi bisa dimulai dengan uji coba bertahap di pemilihan daerah," ucapnya.
Dukungan dan Pertimbangan Lain Terhadap E-Voting
Komnas HAM juga turut menyuarakan perlunya mempertimbangkan sistem elektronik dalam pemilu mendatang, terutama untuk memfasilitasi pemilih yang merantau. Sementara itu, Anggota Komisi II DPR RI, Rahmat Saleh, mengusulkan e-voting untuk menekan biaya pemilu dan mengakomodasi pemilih generasi Z dan milenial yang akan mendominasi pada Pemilu 2029.
Usulan-usulan ini menunjukkan adanya perdebatan yang dinamis seputar penerapan e-voting. Namun, penting untuk diingat bahwa kesuksesan implementasi e-voting bergantung pada kajian holistik dan persiapan yang matang di berbagai aspek, bukan hanya pada aspek teknologi semata.