Haidar Alwi Pertanyakan Revisi UU Kejaksaan dan KUHAP: Ada Kepentingan Tertentu?
Pendiri Haidar Alwi Institute mempertanyakan motivasi di balik revisi UU Kejaksaan dan KUHAP, khawatir revisi tersebut justru melindungi kepentingan tertentu dan bukan untuk penegakan hukum yang lebih baik.
Jakarta, 6 Februari 2024 - R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Institute, melontarkan pertanyaan kritis terkait revisi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ia mempertanyakan motivasi sebenarnya di balik revisi tersebut. "Apakah murni untuk penegakan hukum yang lebih baik, atau justru hanya untuk melindungi kepentingan tertentu?" ujar Haidar dalam keterangan persnya di Jakarta.
Kekhawatiran Terhadap Revisi UU
Haidar Alwi Institute mengungkapkan kekhawatirannya terhadap beberapa poin dalam revisi UU. Revisi ini memungkinkan jaksa untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan sendiri, mengintervensi penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri), dan memiliki wewenang untuk menentukan kapan suatu perkara dinaikkan statusnya ke tahap lidik dan sidik, serta kapan perkara tersebut dilanjutkan atau dihentikan. Lebih jauh, revisi ini bahkan memberikan wewenang kepada jaksa untuk menentukan sah atau tidaknya penangkapan dan penyitaan—yang seharusnya menjadi kewenangan lembaga peradilan.
Menurutnya, KUHAP telah mengatur dengan jelas pembagian tugas dan kewenangan antar aparat penegak hukum. Penyelidikan dan penyidikan menjadi tanggung jawab Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), sementara penuntutan menjadi wewenang kejaksaan. "Namun, dalam praktiknya, jaksa seringkali juga menjalankan fungsi penyelidikan dan penyidikan. Padahal, baik dalam KUHAP, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maupun asas hukum lex specialis, tidak ada satu pasal pun yang menyebutkan jaksa sebagai penyidik, melainkan sebagai penuntut umum," tegas Haidar.
Legalisasi Penyimpangan Kewenangan?
Haidar menduga revisi UU Kejaksaan dan KUHAP ini bertujuan untuk melegitimasi penyimpangan kewenangan yang selama ini terjadi, dengan dalih asas dominus litis (pengendali perkara). Ia menjelaskan bahwa UU Kejaksaan memang memberikan kewenangan kepada jaksa untuk menjadi penyidik tindak pidana tertentu, dengan status sebagai PPNS. Namun, ia mempertanyakan pengawasan dan koordinasi antara jaksa sebagai PPNS dengan Polri. "Apakah koordinasi tersebut berjalan dengan baik, atau justru sebaliknya?" tanyanya.
Lebih lanjut, Haidar juga menyoroti perbedaan pelatihan dan sertifikasi. Penyidik Polri dan PPNS diwajibkan mengikuti dan lulus diklat penyidikan yang diselenggarakan oleh Polri untuk mendapatkan sertifikasi. Hal ini tidak berlaku bagi jaksa. Ia juga mempertanyakan mekanisme Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) jika jaksa melakukan penyidikan sendiri. "Lantas kalau jaksa naik sidik sendiri, kepada siapa jaksa memberi SPDP-nya?" tanyanya.
Ancaman Koordinasi dan Pengawasan Antar Lembaga
Haidar khawatir jika kejaksaan diberikan kewenangan penuh dalam perkara pidana melalui asas dominus litis, koordinasi horizontal dan pengawasan antar penegak hukum akan terganggu. Ia menekankan pentingnya pengawasan publik terhadap revisi UU Kejaksaan dan KUHAP agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan tertentu. "Revisi UU Kejaksaan dan KUHAP itu kan usulan DPR, bukan Pemerintah. DPR adalah pengawas Pemerintah dan lembaga eksekutif. Mereka pengawas yang harus diawasi. Rakyatlah yang bisa menjadi pengawas terbaik bagi DPR," tutup Haidar.
Kesimpulan
Pernyataan Haidar Alwi ini menimbulkan pertanyaan serius tentang transparansi dan tujuan sebenarnya di balik revisi UU Kejaksaan dan KUHAP. Perlu adanya diskusi publik yang lebih luas dan transparan untuk memastikan revisi ini benar-benar demi penegakan hukum yang lebih baik dan tidak justru memperlebar celah penyalahgunaan kekuasaan.