Ironi Kelapa Indonesia: Harga Melonjak, Petani Tak Makmur?
Harga kelapa melonjak, tetapi petani belum merasakan kesejahteraan optimal karena rantai pasok bermasalah dan kebijakan yang belum sepenuhnya berpihak pada mereka.

Apa, Siapa, Di mana, Kapan, Mengapa, Bagaimana? Lonjakan harga kelapa bulat terjadi di Indonesia, khususnya di Riau, sentra produksi terbesar, sejak tahun 2024 hingga 2025. Harga per butir melonjak dari Rp2.900/kg menjadi Rp8.000/kg, namun petani belum merasakan manfaat sepenuhnya karena margin distribusi yang besar dan rantai pasok yang tidak efisien. Kondisi ini disebabkan oleh sejumlah regulasi yang tidak sinergis, kelemahan kelembagaan petani, dan infrastruktur distribusi yang buruk. Pemerintah dan berbagai pihak berupaya mencari solusi untuk mengatasi permasalahan ini.
Meskipun harga di tingkat petani meningkat, harga di tingkat konsumen jauh lebih tinggi, mencapai Rp13.769 hingga Rp21.000/kg. Hal ini menunjukkan adanya margin keuntungan yang sangat besar bagi pedagang di hilir, sementara petani masih terjebak dalam rantai pasok yang tidak menguntungkan. Ketimpangan ini menghambat hilirisasi industri kelapa yang seharusnya mampu meningkatkan nilai tambah dan kesejahteraan petani.
Situasi ini menciptakan ironi dan dilema dalam tataniaga kelapa Indonesia. Di satu sisi, harga kelapa meningkat, namun di sisi lain, petani belum merasakan manfaat secara signifikan. Permasalahan ini membutuhkan solusi menyeluruh yang melibatkan reformasi regulasi, penguatan kelembagaan petani, dan perbaikan infrastruktur distribusi.
Kebijakan yang Belum Sinergis
Salah satu penyebab utama permasalahan ini adalah kebijakan pemerintah yang belum sepenuhnya sinergis. Kebijakan pajak dan ekspor yang timpang mendorong petani lebih memilih mengekspor kelapa mentah daripada menjualnya ke industri dalam negeri. Pembeli bahan baku industri kelapa dikenai PPN 10 persen, sementara ekspor kelapa utuh bebas pajak. Kondisi ini membuat petani lebih tertarik mengekspor kelapa mentah meskipun tanpa nilai tambah bagi ekonomi lokal.
Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia (HIPKI) mendesak pemerintah untuk mengatur ekspor kelapa segar karena selama ini tidak ada aturan sama sekali. Beberapa pihak di pemerintahan juga menekankan pentingnya reformasi tata niaga dan mengusulkan skema tarif ekspor dan pengenaan pajak atas buah kelapa yang diekspor. Regulasi di tingkat daerah dan perizinan yang tumpang tindih juga menjadi masalah. Pemerintah pusat dan daerah perlu segera menetapkan kebijakan tarif atau kuota ekspor kelapa utuh serta insentif bagi pelaku hilirisasi.
Program peremajaan (replanting) juga penting karena usia pohon kelapa yang sudah tua dan produktivitas yang rendah. Program revitalisasi perkebunan kelapa harus sejalan dengan insentif bagi petani, seperti sarana produksi, kredit murah, dan peralatan panen, agar kualitas dan kontinuitas pasokan dapat meningkat. "Kebijakan pajak dan ekspor yang timpang mendorong para petani lebih senang menjual buah mentah ke pasar ekspor," ungkap seorang narasumber.
Penguatan Rantai Pasok
Kelembagaan petani kelapa di Indonesia masih lemah dan terfragmentasi. Sebagian besar petani bergantung pada tengkulak skala kecil tanpa koordinasi dalam distribusi dan pemasaran. Pembentukan koperasi atau kelompok tani mampu meningkatkan posisi tawar petani secara signifikan. Konsep korporasi petani yang melibatkan BUMN dan swasta juga mulai digagas.
Inisiatif petani membentuk koperasi telah muncul di beberapa sentra produksi untuk memproduksi produk olahan bernilai tambah, seperti kopra dan VCO. Koperasi ini terbukti mengurangi ketergantungan pada tengkulak dan meningkatkan pendapatan petani. Dukungan teknis, seperti pelatihan manajemen, sertifikasi, dan akses permodalan, perlu diperluas agar koperasi berfungsi optimal.
Panjangnya rantai pasok membuat harga di tingkat konsumen jauh lebih tinggi daripada harga di tingkat petani. Infrastruktur distribusi yang buruk, jalan rusak, minimnya transportasi, dan kurangnya fasilitas penyimpanan memicu ketimpangan pasokan dan harga antarwilayah. Rantai pasok kelapa harus dipangkas dan diperpendek. Petani perlu difasilitasi agar dapat menjual langsung ke koperasi atau industri.
Hilirisasi sebagai Kunci
Hilirisasi menjadi kunci utama untuk meningkatkan nilai tambah kelapa nasional. Produk seperti VCO, cocopeat, dan arang batok kelapa memiliki potensi ekspor tinggi. Pengembangan ini harus ditopang oleh kebijakan yang mendukung: pembebasan PPN untuk produk olahan, harmonisasi regulasi perdagangan, dan insentif investasi.
Dukungan riset dan teknologi, termasuk perakitan varietas baru dan pengembangan benih unggul, serta inovasi pascapanen, sangat diperlukan untuk memperkuat daya saing kelapa Indonesia di pasar global. Dibutuhkan solusi menyeluruh, mulai dari reformasi regulasi hingga penguatan kelembagaan. Kebijakan yang berpihak pada petani akan meratakan manfaat ekonomi bagi hulu dan hilir.
Dengan sinergi pemerintah, pelaku usaha, dan petani, serta program hilirisasi yang nyata, industrialisasi kelapa dapat dibangkitkan kembali. Potensi besar kelapa Indonesia dapat diwujudkan untuk kesejahteraan petani dan menjadikan kelapa sejajar dengan sawit sebagai komoditas unggulan nasional.