Kasus Korupsi SIHT Kudus Dilimpahkan ke Tipikor Sebelum Lebaran 2025
Kejari Kudus targetkan pelimpahan berkas empat tersangka kasus korupsi pembangunan Sentra Industri Hasil Tembakau (SIHT) ke Tipikor Semarang sebelum Lebaran 2025, dengan kerugian negara ditaksir mencapai Rp5,25 miliar.

Kejaksaan Negeri (Kejari) Kudus, Jawa Tengah, menetapkan target pelimpahan kasus dugaan korupsi pembangunan Sentra Industri Hasil Tembakau (SIHT) ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang sebelum perayaan Lebaran tahun 2025. Kasus ini melibatkan empat tersangka dan diduga mengakibatkan kerugian negara hingga miliaran rupiah. Proses hukum berjalan cepat, bermula dari pengungkapan dugaan korupsi dalam proyek pembangunan SIHT 2023 hingga penetapan tersangka dan kini menuju tahap pelimpahan berkas ke pengadilan.
Kepala Kejari Kudus, Henriyadi W. Putro, menyatakan bahwa berkas dua tersangka tahap pertama telah dilimpahkan ke jaksa penuntut umum (JPU) dan dakwaannya telah disiapkan. Pelimpahan berkas akan dilakukan bersamaan dengan pelimpahan berkas dua tersangka baru. Keempat tersangka memiliki peran berbeda dalam kasus ini, meskipun disangkakan pasal yang sama, dengan beberapa tersangka dikenai pasal penyertaan juncto.
Proses penyidikan masih terus berlanjut. Kejari Kudus masih memeriksa sejumlah saksi terkait dengan dua tersangka baru yang ditetapkan pada 4 Maret 2025. Kedua tersangka baru ini adalah RKHA, Kepala Dinas Tenaga Kerja Perindustrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Kudus, dan SK, seorang pemborong. Dua tersangka sebelumnya, HY (konsultan perencana) dan AAP (pelaksana kegiatan), telah ditetapkan sebagai tersangka sejak 19 Desember 2024. Semua tersangka ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas II B Kudus.
Kronologi Kasus Korupsi Pembangunan SIHT
Kasus ini berawal dari temuan dugaan korupsi dalam pelaksanaan pembangunan SIHT tahun 2023, khususnya pada paket pekerjaan tanah padas (tanah uruk) dengan volume 43.223 meter persegi di Kantor Dinas Tenaga Kerja, Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah Kudus. Pekerjaan senilai Rp9,16 miliar ini melalui mekanisme e-katalog, dimenangkan oleh CV Karya Nadika dengan harga satuan Rp212.000 per meter persegi.
Namun, CV Karya Nadika kemudian memborongkan pekerjaan tersebut kepada SK dengan nilai Rp4,04 miliar (harga satuan Rp93.500), dan SK selanjutnya menyerahkannya lagi kepada AK dengan nilai Rp3,11 miliar (harga satuan Rp72.000). Praktik subkontrak ini diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya kerugian negara.
Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan adanya kerugian negara sekitar Rp5,25 miliar. Besarnya kerugian negara ini menjadi fokus utama dalam proses hukum yang sedang berjalan. Proses hukum yang transparan dan akuntabel diharapkan dapat memberikan keadilan dan mencegah terulangnya kasus serupa di masa mendatang.
Pasal yang Disangkakan dan Tersangka
Keempat tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Nomor 31/1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sebagai subsider, mereka juga disangkakan Pasal 3 jo Pasal 18 UU yang sama Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Perbedaan peran masing-masing tersangka akan menjadi pertimbangan dalam proses persidangan nanti.
Proses hukum yang sedang berjalan ini menunjukkan komitmen penegak hukum dalam memberantas korupsi. Dengan pelimpahan berkas ke Tipikor sebelum Lebaran 2025, diharapkan proses peradilan dapat berjalan dengan lancar dan memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat.
Kecepatan penanganan kasus ini diharapkan dapat memberikan efek jera dan mencegah terjadinya praktik korupsi serupa di masa mendatang. Transparansi dan akuntabilitas dalam proses hukum menjadi kunci penting dalam membangun kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia.
Publik menantikan perkembangan selanjutnya dari kasus ini dan berharap agar proses hukum dapat berjalan dengan adil dan transparan, serta memberikan hukuman yang setimpal bagi para pelaku korupsi.