Kasus Korupsi Pembangunan SIHT Kudus Dilimpahkan ke Tipikor Semarang
Kejaksaan Negeri Kudus melimpahkan berkas kasus dugaan korupsi pembangunan SIHT senilai Rp9,16 miliar ke Pengadilan Tipikor Semarang, dengan empat tersangka dan potensi kerugian negara mencapai Rp5,25 miliar.

Kejaksaan Negeri (Kejari) Kudus resmi melimpahkan berkas perkara kasus dugaan korupsi pembangunan Sentra Industri Hasil Tembakau (SIHT) di Kabupaten Kudus ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang. Pelimpahan berkas perkara ini dilakukan secara elektronik pada Kamis (10/4) malam dan secara fisik pada Jumat (11/4), melibatkan empat tersangka dan potensi kerugian negara yang signifikan.
Kepala Kejari Kudus, Henriyadi W. Putro, membenarkan pelimpahan tersebut. Ia menjelaskan bahwa para tersangka saat ini masih ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas II B Kudus. Kejari Kudus telah menyiapkan lima jaksa penuntut umum (JPU) untuk menghadapi persidangan di Pengadilan Tipikor Semarang. Meskipun demikian, jadwal persidangan belum terlihat di laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Semarang hingga Minggu (13/4).
Kasus ini melibatkan empat tersangka: Rini Kartika Hadi Ahmawati (RKHA) selaku Kepala Dinas Tenaga Kerja Perindustrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Kudus, Sukristianto (pemilik CV Karya Nadika), Henny S. (konsultan perencana), dan Adi P. (pelaksana kegiatan). Mereka diduga terlibat dalam korupsi pembangunan SIHT pada paket pekerjaan tanah uruk dengan volume 43.223 meter persegi.
Kronologi Dugaan Korupsi Pembangunan SIHT
Dugaan korupsi bermula dari pelaksanaan pembangunan SIHT tahun 2023. Paket pekerjaan tanah uruk senilai Rp9,16 miliar, dimenangkan melalui mekanisme e-katalog oleh CV Karya Nadika dengan harga satuan Rp212.000,00 per meter persegi. Namun, CV Karya Nadika kemudian memborongkan pekerjaan tersebut kepada pihak lain (SK) dengan harga jauh lebih rendah, yaitu Rp93.500,00 per meter persegi. SK selanjutnya kembali memborongkan pekerjaan kepada AK dengan harga satuan Rp72.000,00.
Praktik subkontrak berlapis ini diduga menjadi sumber kerugian negara. Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan potensi kerugian negara mencapai sekitar Rp5,25 miliar. Selisih harga yang signifikan di setiap tahap subkontrak menjadi indikasi kuat adanya penyimpangan dan korupsi.
Proses pengadaan yang seharusnya transparan dan akuntabel diduga dimanipulasi untuk kepentingan pribadi para tersangka. Ketidaksesuaian harga satuan antara kontrak awal dan harga pelaksanaan pekerjaan menjadi bukti kuat adanya kerugian negara yang cukup besar.
Pasal yang Dikenakan dan Bukti yang Diperoleh
Keempat tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sebagai alternatif, mereka juga dijerat dengan Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pasal-pasal tersebut menunjukkan keseriusan Kejari Kudus dalam menindak tegas para pelaku korupsi.
Bukti-bukti yang telah dikumpulkan oleh Kejari Kudus selama proses penyidikan akan menjadi dasar dalam persidangan nanti. Hasil audit BPKP yang menunjukkan kerugian negara senilai Rp5,25 miliar menjadi bukti kuat adanya tindak pidana korupsi. Proses hukum akan terus berjalan untuk mengungkap seluruh fakta dan memastikan keadilan ditegakkan.
Dengan pelimpahan berkas perkara ini, diharapkan proses hukum dapat berjalan lancar dan transparan. Masyarakat berharap agar kasus ini dapat segera diselesaikan dan para pelaku korupsi dapat dihukum sesuai dengan perbuatannya. Hal ini penting untuk memberikan efek jera dan mencegah terjadinya kasus serupa di masa mendatang.
Publik menantikan perkembangan persidangan di Pengadilan Tipikor Semarang dan berharap agar proses hukum berjalan adil dan transparan, serta memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat.