Kebijakan Ekspansif: Solusi Tekan Gelombang PHK di Indonesia?
Ekonom Indef, Esther Sri Astuti, menganjurkan kebijakan ekspansif fiskal dan moneter untuk mengurangi dampak PHK di Indonesia, termasuk optimalisasi program Kartu Prakerja sebagai upaya penciptaan lapangan kerja.

Jakarta, 3 Maret 2024 (ANTARA) - Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda Indonesia akhir-akhir ini mendorong ekonom untuk mencari solusi. Esther Sri Astuti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai kebijakan ekspansif menjadi kunci untuk menekan angka PHK dan merangsang pertumbuhan ekonomi yang lebih stabil. Kebijakan ini, menurutnya, harus segera diterapkan untuk mengurangi dampak negatif PHK terhadap perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
Menurut Esther, kebijakan ekspansif berperan penting dalam menurunkan tingkat pengangguran dan mendorong aktivitas bisnis. Hal ini didasarkan pada teori ekonomi yang menyatakan bahwa pada kondisi perekonomian yang lesu, kebijakan ekspansif menjadi solusi untuk meningkatkannya. Ia menekankan perlunya pendekatan komprehensif yang melibatkan strategi fiskal dan moneter yang terukur dan efektif.
"Jika mengacu berdasarkan teori ekonomi, kalau perekonomian negara sedang di bawah, maka untuk menaikkannya adalah melalui expansive policy," ujar Esther kepada ANTARA di Jakarta.
Kebijakan Fiskal dan Moneter yang Ekspansif
Esther merekomendasikan beberapa langkah kebijakan ekspansif, baik dari sisi fiskal maupun moneter. Dari sisi fiskal, pemerintah dapat memberikan insentif pajak dan melaksanakan stimulus infrastruktur, seperti yang pernah dilakukan pada tahun 2009. Tujuannya adalah untuk menciptakan dan meningkatkan daya serap tenaga kerja, serta meredam gelombang PHK yang terjadi.
"Dari sisi fiskal, (pemerintah bisa) memberikan insentif pajak, atau melakukan implementasi stimulus infrastruktur (fiskal) seperti yang sudah dilakukan di tahun 2009," jelas Esther. Ia menambahkan bahwa setiap langkah kebijakan harus terukur dan tepat sasaran agar efektif dalam mencapai tujuannya.
Sementara itu, dari sisi moneter, pemerintah dapat menggunakan instrumen seperti suku bunga untuk mengendalikan kinerja ekonomi. Contohnya, memberikan insentif subsidi bunga bagi mereka yang terdampak PHK dan memiliki kredit di bank, serta memberikan kelonggaran bagi mereka yang ingin mengajukan kredit untuk memulai usaha.
"Misalnya ada insentif subsidi bunga untuk orang-orang (korban PHK) yang ada kredit di bank. Dari sisi kredit juga ada kelonggaran untuk mereka yang mau apply kredit di bank (untuk membuat usaha)," tambah Esther.
Optimalisasi Kartu Prakerja
Selain kebijakan fiskal dan moneter, Esther juga menyoroti pentingnya optimalisasi program Kartu Prakerja. Ia menilai program ini seharusnya lebih difokuskan pada matchmaking antara pencari kerja, termasuk mereka yang terkena PHK, dengan perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja.
Saat ini, Kartu Prakerja lebih berfokus pada pengembangan kewirausahaan. Menurut Esther, hal ini tidak cukup dan perlu diimbangi dengan program matchmaking yang efektif. Pemerintah, menurutnya, memiliki peran penting dalam memfasilitasi proses perjodohan antara pencari kerja dan perusahaan.
"Selama ini kartu prakerja ini lebih ke entrepreneurship. Kalau menurut saya, tidak cukup untuk itu, tapi juga seharusnya dibuat untuk matchmaking program, perjodohan antara calon tenaga kerja dengan employer yang membutuhkan tenaga kerja. Peran pemerintah ada di situ," tegas Esther.
Kesimpulannya, upaya menekan gelombang PHK membutuhkan strategi komprehensif yang melibatkan kebijakan ekspansif, baik fiskal maupun moneter, serta optimalisasi program-program pemerintah seperti Kartu Prakerja untuk menciptakan lapangan kerja baru dan mengurangi angka pengangguran di Indonesia.