Kejati NTB Usut Dugaan Korupsi SPPD Fiktif DPRD Lombok Utara
Kejaksaan Tinggi NTB menyelidiki laporan dugaan korupsi SPPD fiktif sejumlah anggota DPRD Lombok Utara periode 2019-2024, yang sebelumnya juga pernah diselidiki Kejari Mataram.
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Barat (NTB) tengah menyelidiki dugaan kasus korupsi terkait surat perintah perjalanan dinas (SPPD) fiktif yang melibatkan sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Lombok Utara. Informasi ini bermula dari laporan masyarakat yang diterima Kejati NTB pada akhir Januari 2024.
Plt. Asisten Pidana Khusus Kejati NTB, Ely Rahmawati, menyatakan bahwa laporan tersebut ditanggapi serius. Pihaknya telah menerima informasi bahwa dugaan SPPD fiktif ini terjadi dalam periode 2019 hingga 2024 dan melibatkan sejumlah oknum anggota DPRD, bukan seluruhnya.
Kejati NTB menyadari bahwa Kejaksaan Negeri (Kejari) Mataram sebelumnya juga pernah menangani kasus serupa. Oleh karena itu, koordinasi dengan Kejari Mataram akan dilakukan untuk memastikan penanganan yang efektif dan terintegrasi. Hal ini penting untuk menghindari duplikasi upaya dan memastikan keadilan.
Kasus dugaan SPPD fiktif yang ditangani Kejari Mataram pada pertengahan tahun 2022 melibatkan 30 anggota DPRD dan 7 pegawai sekretariat dewan. Dugaan ini muncul berdasarkan temuan penerbitan SPPD fiktif pada tahun 2021.
Besaran anggaran yang diduga diselewengkan bervariasi, mulai dari Rp 1,8 juta hingga Rp 3,9 juta per orang. Total kerugian negara ditaksir mencapai Rp 186,57 juta berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Temuan BPK menunjukkan bahwa uang SPPD tersebut tidak digunakan sesuai peruntukannya, khususnya untuk biaya penginapan.
Penyidikan kasus ini menjadi fokus Kejati NTB. Langkah-langkah hukum akan diambil sesuai prosedur, dengan mengedepankan prinsip keadilan dan transparansi. Kejati NTB berkomitmen untuk mengusut tuntas dugaan korupsi ini dan memberikan sanksi tegas kepada pihak-pihak yang terlibat.
Kasus ini sekali lagi menyoroti pentingnya pengawasan ketat terhadap pengelolaan keuangan negara di lembaga pemerintahan. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci pencegahan korupsi. Kejati NTB berharap kasus ini dapat menjadi pembelajaran bagi semua pihak untuk senantiasa menjunjung tinggi integritas dan hukum.