Koalisi Minta Revisi UU KSDAHE: Jangan Singkirkan Masyarakat Adat!
Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mendesak revisi UU KSDAHE agar tidak mengesampingkan hak-hak masyarakat adat atas wilayah mereka, mengingat 67 persen tutupan hutan berada di wilayah adat.

Jakarta, 7 Mei 2024 - Koalisi Kawal Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat menyuarakan keprihatinan terkait Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE). Mereka mendesak agar revisi UU tersebut tidak mengecualikan atau mengeluarkan masyarakat adat dari wilayah adat mereka. Permasalahan ini mencuat setelah Presiden Joko Widodo mengesahkan UU tersebut pada 7 Agustus 2024, dan kini revisinya sedang diuji formil di Mahkamah Konstitusi (MK).
Anggi Prayoga, Ketua Tim Kampanye Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, mengungkapkan kekhawatirannya dalam diskusi di Rumah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Jakarta. Ia menyatakan, "Dalam UU 32 tahun 2024, ada beberapa pasal yang bukannya merubah paradigma, melainkan justru mengecualikan masyarakat adat. UU tentang konservasi ini berbahaya jika diimplementasikan tanpa mengadopsi paradigma baru."
Koalisi tersebut khawatir UU ini berpotensi menghilangkan hak-hak konservasi masyarakat adat, bahkan berujung pada pidana atau pengusiran dari wilayah adat mereka. Hal ini sangat memprihatinkan mengingat data dari Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan bahwa 67 persen tutupan hutan berada di wilayah adat, yang selama ini dikelola dengan kearifan lokal masyarakat adat.
Peran Masyarakat Adat dalam Konservasi
Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mendorong agar revisi UU 32 Tahun 2024 benar-benar mengakomodasi partisipasi masyarakat adat yang bermakna, bukan sekadar formalitas. Mereka juga menekankan pentingnya pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat yang hingga kini masih tertunda. Anggi Prayoga menambahkan, "Selama ini justru kita di koalisi yang proaktif, kita bertemu kementerian, Menteri Hak Asasi Manusia, jadi sebetulnya upaya preventif itu justru muncul dari gerakan masyarakat sipil yang sadar dan peduli terhadap hak-hak konstitusional yang melekat pada masyarakat adat."
Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberikan penjelasan terkait revisi UU KSDAHE. Sekretaris Jenderal KLHK, Bambang Hendroyono, menyatakan bahwa revisi UU tersebut tidak akan menghambat akses masyarakat hukum adat untuk pengakuan wilayah hutan adat. Ia menegaskan, "Jadi kalau menurut saya tidak ada hambatan untuk akses legal masyarakat hukum adat, dengan Undang-undang Nomor 32 ini justru dikuatkan di kawasan konservasi."
Bambang Hendroyono juga menjelaskan bahwa keterlibatan masyarakat hukum adat dalam kegiatan konservasi akan diperjelas dalam peraturan pemerintah (PP) sebagai turunan dari UU. Penjelasan ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan mengurangi kekhawatiran masyarakat adat terkait potensi pengurangan hak-hak mereka dalam pengelolaan wilayah adat.
Konteks dan Implikasi
Perdebatan ini menyoroti pentingnya pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Data FWI yang menunjukkan luasnya wilayah adat yang mencakup hutan menjadi bukti nyata kontribusi masyarakat adat dalam konservasi. Oleh karena itu, revisi UU KSDAHE harus memastikan partisipasi masyarakat adat yang substansial dan tidak sekadar formalitas.
Keberhasilan revisi UU KSDAHE akan bergantung pada komitmen pemerintah untuk melibatkan masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan. Kejelasan regulasi dan penegakan hukum yang adil menjadi kunci untuk melindungi hak-hak masyarakat adat dan memastikan keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam.
Ke depan, penting bagi pemerintah untuk terus berdialog dengan masyarakat adat dan mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak untuk mencapai solusi yang adil dan berkelanjutan. Hal ini penting untuk menjaga harmoni antara konservasi lingkungan dan hak-hak masyarakat adat.
Pengesahan RUU Masyarakat Adat juga menjadi hal yang krusial untuk memberikan payung hukum yang lebih kuat bagi perlindungan hak-hak masyarakat adat. Dengan demikian, pengelolaan sumber daya alam dapat dilakukan secara berkelanjutan dan berkeadilan bagi semua pihak.