KPU Buru Siap Hadapi Sidang Gugatan PSU di MK: Tolak Pemilih Tanpa E-KTP
KPU Kabupaten Buru siap menghadapi gugatan hasil Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Mahkamah Konstitusi terkait penolakan pemilih tanpa e-KTP dan dugaan pelanggaran lainnya.

Mahkamah Konstitusi (MK) akan segera menggelar sidang perdana atas gugatan pasangan calon Amustafa Besan–Hamsa Buton terhadap pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Kabupaten Buru, Maluku. Gugatan tersebut terkait penolakan sejumlah pemilih dalam PSU di TPS 2 Desa Debowae. KPU Kabupaten Buru menyatakan kesiapannya menghadapi sidang tersebut dan telah menyiapkan jawaban atas seluruh poin gugatan.
Ketua KPU Buru, Walid Aziz, menegaskan bahwa keputusan untuk tidak mengakomodasi sejumlah pemilih bukan tanpa dasar hukum. "KPU pasti akan siap menjalani semua proses di MK. Kami tentunya sudah menyiapkan jawaban untuk menghadap pada sidang nanti," ujar Walid di Ambon. Alasan penolakan pemilih didasarkan pada regulasi yang berlaku, yaitu hanya pemilih dengan KTP elektronik dan tercantum dalam Kartu Keluarga sesuai domisili yang dapat menggunakan hak pilih. Hal ini dilakukan untuk menjaga integritas pemilu.
Gugatan Amus-Hamza teregistrasi di MK dengan nomor 314/PAN.MK/e-ARPKP/04/2025. Ketua Bawaslu Maluku, Subair, menjelaskan bahwa sidang pendahuluan akan menentukan kelanjutan perkara ke tahap pembuktian atau penolakan gugatan. "Jadi kita akan mendapatkan jadwal sidang pemeriksaan pendahuluan dalam waktu dekat melalui web resmi MK. Dan dalam aturan paling lambat 4 hari setelah tercatat dalam e-BRPK," jelasnya.
KPU Berpegang pada Regulasi dan Integritas Pemilu
KPU Buru menekankan bahwa validitas data pemilih merupakan kunci dalam penyelenggaraan pemilu yang bersih dan adil. "Validitas data pemilih adalah kunci. Ini penting untuk mencegah adanya penyalahgunaan suara. Kami juga diawasi oleh Bawaslu, serta aparat keamanan dari TNI dan Polri," jelas Walid. Proses penyortiran data pemilih dilakukan secara ketat, dan ditemukan indikasi pemilih ganda, baik dalam satu TPS maupun antar TPS. Pemilih yang telah mencoblos di TPS lain pada Pilkada sebelumnya, namun namanya juga terdaftar di TPS 2 saat PSU, tidak diakomodasi karena bertentangan dengan prinsip 'satu orang satu suara'.
Walid, yang juga menjabat sebagai Ketua KPPS di TPS 2 Desa Debowae, menjelaskan bahwa pihaknya menemukan pemilih yang sudah mencoblos di TPS lain pada 27 November 2024, tetapi namanya juga tercantum di TPS 2 saat PSU. "Itu jelas tidak bisa kami layani karena bertentangan dengan prinsip satu orang satu suara," tegasnya. KPU Buru bersikukuh pada penggunaan dokumen kependudukan yang sah sebagai syarat mutlak untuk menggunakan hak pilih, sesuai dengan Undang-Undang Pemilu dan PKPU.
Pasangan Amus-Hamza sebelumnya telah menggugat KPU Buru ke MK setelah pelaksanaan PSU di TPS 2 Desa Debowae dan Penghitungan Ulang Surat Suara (PUSS) di TPS 19 Desa Namlea pada 5 April 2025. Mereka menilai KPU tidak sepenuhnya menjalankan instruksi MK terkait penggunaan DPT, DPTb, dan DPT tambahan. Dalam PSU tersebut, pasangan Amus-Hamza memperoleh 272 suara, meningkat signifikan dari perolehan 53 suara pada Pilkada 27 November 2024, namun masih kalah dari pasangan Ikram-Sudarmo.
Dugaan Pelanggaran dan Tahap Selanjutnya
Selain masalah pemilih tanpa e-KTP, Amus-Hamza juga menyoroti adanya pemilih yang tidak menerima undangan memilih namun tetap diperbolehkan mencoblos. Hal ini menjadi bagian dari dugaan pelanggaran yang mereka bawa ke MK. Sidang pendahuluan di MK akan menjadi penentu apakah gugatan tersebut akan berlanjut ke tahap pembuktian atau ditolak. KPU Buru menyatakan siap menghadapi proses hukum yang sedang berjalan dan akan memberikan klarifikasi atas semua tuduhan yang dilayangkan.
Proses hukum ini tentunya akan menjadi perhatian publik, khususnya masyarakat Kabupaten Buru. Hasil dari sidang di MK nantinya akan menentukan keabsahan hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Buru. Baik KPU Buru maupun pasangan Amus-Hamza sama-sama menunggu keputusan dari Mahkamah Konstitusi.
Proses hukum ini diharapkan dapat berjalan dengan adil dan transparan, serta menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak. Kejelasan hukum terkait PSU dan penggunaan data pemilih menjadi hal krusial dalam menjaga integritas penyelenggaraan pemilu di Indonesia.