LPSK Lindungi Tiga Korban Asusila Mantan Kapolres Ngada: Ancaman TPPO dan Eksploitasi Seksual Jadi Sorotan
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan perlindungan kepada tiga korban anak di bawah umur yang menjadi korban asusila mantan Kapolres Ngada, dengan sorotan pada tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan eksploitasi seksual.

Mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Lukman Widyadharma Sumaatmaja, kini menjadi tersangka dugaan kasus asusila dan penyalahgunaan narkoba setelah melakukan pelecehan seksual terhadap tiga anak di bawah umur dan seorang dewasa. Kejadian ini terungkap di Jakarta pada 13 Maret 2025, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) telah memberikan perlindungan kepada tiga korban anak tersebut, yang berusia 6, 13, dan 16 tahun. Perlindungan ini diberikan setelah LPSK melakukan pendalaman informasi dan koordinasi dengan berbagai pihak di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Wakil Ketua LPSK, Sri Nurherwati, menyatakan bahwa keputusan untuk memberikan perlindungan kepada para korban telah ditetapkan dalam Sidang Mahkamah Pimpinan LPSK pada 9 April 2025. Perlindungan tersebut meliputi pemenuhan hak prosedural, fasilitas penghitungan restitusi, dan bantuan rehabilitasi psikologis, khususnya bagi korban berusia 6 tahun. LPSK juga bekerja sama dengan berbagai lembaga di NTT untuk memastikan pendampingan yang komprehensif bagi para korban.
Kasus ini menyoroti ancaman serius tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan eksploitasi seksual anak melalui media sosial. Nurherwati menekankan bahwa pelaku dapat dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Perlindungan Anak, TPPO, dan Informasi dan Transaksi Elektronik karena eksploitasi seksual yang dilakukan melibatkan penggunaan aplikasi media sosial dan pengunggahan video ke situs pornografi anak di darkweb. Kondisi rentan anak dan akses mereka terhadap aplikasi digital menjadi perhatian utama.
Perlindungan Komprehensif dan Pencegahan TPPO
LPSK memberikan layanan pemenuhan hak prosedural kepada korban, mendampingi mereka dalam memberikan keterangan di setiap proses peradilan pidana. Kerja sama dengan berbagai lembaga seperti Sahabat Saksi dan Korban NTT, LBH APIK-NTT, dan Kementerian Sosial NTT memastikan dukungan penuh bagi pemulihan korban. Selain itu, LPSK juga menekankan pentingnya memperhatikan tumbuh kembang korban secara optimal dari segi fisik, mental, spiritual, dan sosial.
Nurherwati menambahkan bahwa fokus utama penanganan kasus ini adalah kaitannya dengan TPPO yang bertujuan eksploitasi seksual. Ia menyoroti pentingnya perhatian terhadap akses anak-anak terhadap aplikasi digital dan penindakan terhadap platform penyedia yang memfasilitasi eksploitasi seksual. Pemerintah pusat, daerah, dan aparat penegak hukum diharapkan memberikan perhatian khusus dalam penanganan TPPO, khususnya eksploitasi seksual di NTT.
Edukasi kesehatan reproduksi juga dianggap penting untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang. Nurherwati berharap kasus ini menjadi pelajaran bagi semua pihak agar hak-hak anak tidak diabaikan karena berbagai faktor seperti keterbatasan ekonomi, masalah rumah tangga, atau gaya hidup. Ia juga mendesak pemerintah pusat untuk menindak tegas aplikasi digital yang digunakan untuk eksploitasi seksual.
Pentingnya Perhatian terhadap Hak Anak dan Peran Teknologi
Kasus ini mengungkap betapa rentannya anak-anak terhadap eksploitasi seksual melalui teknologi digital. Penggunaan darkweb untuk menyebarkan konten pornografi anak menunjukkan betapa canggihnya modus operandi pelaku kejahatan seksual. Oleh karena itu, diperlukan upaya pencegahan yang komprehensif, termasuk pengawasan ketat terhadap platform digital dan edukasi yang efektif bagi anak dan orang tua.
Perlindungan bagi korban tidak hanya terbatas pada aspek hukum, tetapi juga mencakup pemulihan psikologis dan sosial. Bantuan rehabilitasi psikologis yang diberikan LPSK kepada korban merupakan langkah penting untuk membantu mereka mengatasi trauma yang dialami. Kerja sama antar lembaga terkait juga sangat krusial untuk memastikan keberhasilan upaya perlindungan dan pemulihan korban.
Peran pemerintah dalam melindungi anak dari eksploitasi seksual sangat penting. Selain penegakan hukum yang tegas, pemerintah juga perlu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya TPPO dan eksploitasi seksual, serta memberikan akses yang lebih mudah bagi korban untuk mendapatkan bantuan dan perlindungan.
Kesimpulannya, kasus mantan Kapolres Ngada ini menjadi pengingat penting tentang perlunya perlindungan anak yang komprehensif dan upaya pencegahan TPPO yang efektif. Peran serta semua pihak, termasuk pemerintah, lembaga perlindungan, dan masyarakat, sangat dibutuhkan untuk menciptakan lingkungan yang aman dan melindungi anak-anak dari kejahatan seksual.