Mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Dituntut 4 Tahun Penjara Kasus Korupsi APD COVID-19
Mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes, Budi Sylvana, dituntut 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta terkait kasus korupsi pengadaan APD COVID-19 tahun 2020 yang merugikan negara hingga Rp319,69 miliar.

Jakarta, 16 Mei 2024 - Mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Budi Sylvana, menjadi sorotan setelah dituntut hukuman penjara selama empat tahun oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus dugaan korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) COVID-19 pada tahun 2020. Kasus ini melibatkan kerugian negara yang signifikan dan menjerat beberapa pihak lainnya. Sidang pembacaan tuntutan berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Tuntutan empat tahun penjara untuk Budi Sylvana didasarkan pada keyakinan JPU bahwa yang bersangkutan terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi. Jaksa Sandy Septi Murhanta Hidayat menyatakan, "Hal ini sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam dakwaan pertama." Selain hukuman penjara, Budi juga dituntut membayar denda Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan jika denda tersebut tidak dibayarkan.
Kasus ini bukan hanya melibatkan Budi Sylvana. Dua terdakwa lain, Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI) Satrio Wibowo dan Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM) Ahmad Taufik, juga turut diadili dan dituntut hukuman yang jauh lebih berat. Mereka diduga turut serta dalam korupsi pengadaan APD COVID-19 yang merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah.
Korupsi Pengadaan APD COVID-19: Tuntutan Berat untuk Para Terdakwa
Satrio Wibowo dituntut hukuman penjara selama 14 tahun 10 bulan dan denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan. Sementara itu, Ahmad Taufik dituntut hukuman penjara 14 tahun empat bulan dengan denda yang sama. Keduanya juga dibebani tuntutan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti, masing-masing sebesar Rp59,98 miliar subsider empat tahun penjara dan Rp224,18 miliar subsider enam tahun penjara.
JPU meyakini perbuatan ketiga terdakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dalam pertimbangannya, JPU memperhitungkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan.
Hal yang memberatkan antara lain perbuatan ketiga terdakwa yang tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi, serta tindakan tersebut dilakukan dalam kondisi darurat bencana. Secara khusus, Ahmad Taufik juga dibebani hal memberatkan karena tidak mengakui perbuatannya dan berbelit-belit dalam memberikan keterangan di persidangan. Sebagai hal yang meringankan, JPU menilai para terdakwa bersikap sopan selama persidangan.
Kerugian Negara dan Mekanisme Korupsi
Total kerugian negara akibat kasus ini diperkirakan mencapai Rp319,69 miliar. Kerugian tersebut diakibatkan oleh perbuatan para terdakwa yang memperkaya diri sendiri dan pihak-pihak lain. Rinciannya, Satrio Wibowo memperoleh Rp59,98 miliar, Ahmad Taufik Rp224,19 miliar, PT Yoon Shin Jaya Rp25,25 miliar, dan PT GA Indonesia Rp14,62 miliar.
Modus operandi yang dilakukan para terdakwa meliputi negosiasi harga APD tanpa surat pesanan, negosiasi harga dan penandatanganan surat pesanan APD dalam jumlah besar, serta penerimaan pinjaman uang dari BNPB untuk pembayaran APD tanpa dokumen pendukung. Selain itu, mereka juga diduga menerima pembayaran untuk APD merek BOHO dalam jumlah besar, meskipun PT EKI tidak memiliki kualifikasi dan izin yang dibutuhkan.
Lebih lanjut, PT EKI dan PT PPM diduga tidak menyerahkan bukti pendukung kewajaran harga kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), sehingga melanggar prinsip pengadaan barang/jasa pemerintah dalam keadaan darurat yang seharusnya efektif, transparan, dan akuntabel. Perbuatan ketiga terdakwa ini juga diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sidang kasus ini masih berlanjut dan publik menantikan putusan pengadilan yang diharapkan dapat memberikan keadilan dan efek jera bagi para pelaku korupsi, khususnya dalam konteks pengadaan barang dan jasa di masa darurat.