Mantan Menag: Izin Tambang untuk Kampus Rawan Masalah
Mantan Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin dan Kementerian ESDM memiliki pandangan berbeda terkait pemberian IUP kepada perguruan tinggi, dengan potensi masalah ketidakadilan dan kesulitan pengelolaan tambang menjadi sorotan.

JAKARTA, 28 Januari 2024 - Polemik rencana pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada perguruan tinggi mencuat ke permukaan. Mantan Menteri Agama periode 2015-2019, Lukman Hakim Syaifuddin, mengungkap kekhawatirannya terkait potensi masalah yang ditimbulkan kebijakan tersebut.
Dalam jumpa pers Gerakan Nurani Bangsa (GNB) di Jakarta Pusat, Selasa lalu, Lukman menyoroti dua potensi masalah utama. Pertama, ia memprediksi munculnya ketidakadilan. Pemberian IUP kepada beberapa perguruan tinggi, sementara yang lain tidak, akan memicu persepsi negatif dan menciptakan dualisme di kalangan kampus.
Lebih lanjut, Lukman menekankan perlunya persyaratan yang jelas dan ideal untuk kampus yang ingin mendapatkan IUP. Hal ini penting agar sumber daya tambang tidak dimanfaatkan secara pribadi oleh pihak-pihak tertentu di lingkungan perguruan tinggi. Menurutnya, pemerintah seharusnya memegang kendali penuh atas pengelolaan sumber daya alam, sesuai amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, demi kemakmuran rakyat.
Berbeda dengan pandangan Lukman, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara, Julian Ambassadur Shiddiq, memberikan penjelasan dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR, Kamis (23/1). Kementerian ESDM merekomendasikan IUP eksplorasi bagi perguruan tinggi, bukan IUP produksi.
Julian menjelaskan perbedaan IUP eksplorasi dan produksi. IUP eksplorasi difokuskan pada pencarian lokasi dan potensi cadangan mineral atau batu bara. Berdasarkan pengalaman Kementerian ESDM, proses eksplorasi membutuhkan waktu minimal 3 tahun dan biaya setidaknya Rp100 juta per hektare, belum termasuk biaya kimia dan lainnya. Ia juga mengingatkan bahwa pengelolaan tambang membutuhkan biaya besar dan keahlian khusus.
Julian menekankan pentingnya pemahaman bagi calon penerima IUP, baik dari ormas maupun perguruan tinggi, bahwa pengelolaan tambang bukanlah hal yang mudah dan murah. Pihak yang diberikan IUP harus mampu menyelesaikan pekerjaannya dan mengelola dana dengan baik. Pemberian IUP semata-mata bukan hanya sekadar akses terhadap sumber daya, melainkan juga sebuah tanggung jawab besar.
Kesimpulannya, terdapat perbedaan pandangan antara mantan Menag dan Kementerian ESDM terkait pemberian IUP kepada perguruan tinggi. Potensi masalah ketidakadilan dan kompleksitas pengelolaan tambang menjadi pertimbangan utama dalam perdebatan ini. Pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai aspek secara cermat sebelum mengambil keputusan final.