Mediasi Sengit Batas Wilayah Kutim dan Bontang: Nasib 164 Hektare Dusun Sidrap di Tangan Pemprov Kaltim
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur memfasilitasi mediasi perselisihan batas wilayah Kutim dan Bontang di Dusun Sidrap seluas 164 hektare, demi menjalankan perintah Mahkamah Konstitusi.

Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim) mengambil peran aktif dalam memediasi perselisihan batas wilayah antara Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur (Kutim). Pertemuan penting ini melibatkan kepala daerah dari kedua wilayah yang bersengketa, menandai langkah serius dalam upaya penyelesaian konflik yang telah berlangsung.
Mediasi ini secara khusus berfokus pada wilayah Dusun Sidrap, yang memiliki luas sekitar 164 hektare dan menjadi titik sengketa utama. Inisiatif Pemprov Kaltim ini merupakan tindak lanjut langsung dari Keputusan Sela Mahkamah Konstitusi (MK), yang memerintahkan adanya fasilitasi dan mediasi antara pihak-pihak terkait.
Gubernur Kaltim, Rudy Mas'ud, menegaskan bahwa proses mediasi ini dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku, tanpa melanggar ketentuan hukum. Ia juga menekankan pentingnya melihat persoalan ini dari berbagai aspek, tidak hanya hukum, melainkan juga sejarah, ekonomi, sosial, budaya, serta pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat.
Latar Belakang Sengketa Batas Wilayah
Perselisihan batas wilayah antara Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur telah menjadi isu yang memerlukan perhatian serius. Fokus utama sengketa ini terletak pada Dusun Sidrap, sebuah area yang secara administratif masih menjadi pertanyaan bagi kedua daerah. Luas area sengketa yang mencapai 164 hektare ini menjadi krusial karena menyangkut hak dan kewajiban pemerintah daerah terhadap masyarakat yang mendiaminya.
Pertemuan mediasi ini dilaksanakan di Ruang Jempang Kantor Badan Penghubung Provinsi Kaltim di Jakarta. Kehadiran berbagai pihak penting, termasuk Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan (BAK) Kementerian Dalam Negeri Dr. Safrizal, menunjukkan keseriusan pemerintah pusat dalam mengawasi dan mendukung penyelesaian konflik ini. Hal ini juga menegaskan bahwa penyelesaian sengketa batas wilayah Kutim dan Bontang bukan hanya isu lokal, melainkan juga mendapat perhatian dari tingkat nasional.
Gubernur Rudy Mas'ud secara tegas menyatakan bahwa peta wilayah seharusnya berfungsi untuk memperjelas tanggung jawab pemerintah, bukan untuk memisahkan. Ia menekankan bahwa semua wilayah di Kalimantan Timur adalah satu kesatuan di bawah naungan Pemprov Kaltim, sejalan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai harga mati.
Poin-Poin Kesepakatan Mediasi Awal
Mediasi yang berlangsung di Jakarta menghasilkan empat poin penting yang tercatat dalam berita acara dan ditandatangani oleh seluruh peserta rapat. Kesepakatan ini menjadi pijakan awal untuk langkah-langkah selanjutnya dalam penyelesaian sengketa batas wilayah Kutim dan Bontang.
- Pemkot Bontang secara resmi mengusulkan agar Dusun Sidrap seluas 164 hektare diakui sebagai bagian dari wilayah administrasi Kota Bontang.
- Terhadap usulan tersebut, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kutai Timur secara tegas menolak permohonan Pemkot Bontang.
- Rapat mediasi menyepakati bahwa Gubernur Kaltim bersama perwakilan dari Pemkot Bontang dan Pemkab Kutim akan segera melakukan survei lapangan untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan objektif.
- Gubernur Kaltim bertanggung jawab untuk melaporkan seluruh hasil survei lapangan yang telah dilakukan kepada Mahkamah Konstitusi, sebagai tindak lanjut dari perintah keputusan sela.
Dirjen BAK Kemendagri, Dr. Safrizal, menegaskan peran kementeriannya dalam melakukan supervisi terhadap proses mediasi ini. Ia juga menyatakan bahwa Kemendagri akan melaporkan hasil pertemuan ini kepada Mahkamah Konstitusi, memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam penyelesaian sengketa ini.
Prioritas Pelayanan Minimal Masyarakat
Dalam kesempatan mediasi tersebut, Gubernur Kaltim Rudy Mas'ud secara khusus menyoroti pentingnya mengutamakan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bagi masyarakat di wilayah yang bersengketa. Menurutnya, tujuan utama dari penyelesaian konflik ini adalah untuk memastikan bahwa pelayanan publik yang memadai tetap dapat diakses oleh warga, terlepas dari status administratif wilayah mereka.
SPM mencakup enam sektor krusial: pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perumahan rakyat, ketenteraman dan ketertiban umum, serta perlindungan masyarakat dan sosial. Gubernur menekankan bahwa pemerintah daerah memiliki tanggung jawab penuh untuk menjamin terpenuhinya standar pelayanan ini. Hal ini menunjukkan bahwa di tengah tarik-ulur batas wilayah Kutim dan Bontang, kesejahteraan dan hak-hak dasar masyarakat tetap menjadi prioritas utama yang harus diperhatikan oleh semua pihak.
Safrizal dari Kemendagri juga menambahkan bahwa orientasi utama dari setiap keputusan yang diambil haruslah untuk kepentingan masyarakat. Penekanan pada pelayanan publik dan kesejahteraan warga menjadi landasan filosofis dalam mencari solusi terbaik bagi perselisihan batas wilayah ini.