Menurunkan Angka NEET: Kunci Peningkatan Daya Saing Indonesia
Tingginya angka NEET (Not in Education, Employment, or Training) di Indonesia menjadi tantangan serius, membutuhkan strategi komprehensif untuk meningkatkan daya saing pemuda dan pertumbuhan ekonomi.

Indonesia menghadapi tantangan besar dalam struktur ketenagakerjaan, salah satunya adalah tingginya angka pemuda yang tergolong NEET (Not in Education, Employment, or Training). Mereka adalah individu berusia 15-24 tahun yang tidak bersekolah, bekerja, atau mengikuti pelatihan. Kondisi ini berdampak pada ketidakstabilan ekonomi, kemiskinan, dan masalah sosial lainnya. Pemerintah berupaya mengatasi masalah ini untuk meningkatkan daya saing Indonesia dan memanfaatkan dividen demografi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan fluktuasi angka NEET dalam satu dekade terakhir, sempat meningkat tajam pada 2020 (23,30 persen) akibat pandemi COVID-19, namun menurun menjadi 20,31 persen pada 2024. Meskipun menurun, angka ini masih signifikan, menunjukkan perlunya strategi jangka panjang. Tantangan ini diperparah oleh dominasi sektor informal, rendahnya produktivitas, dan kesenjangan keterampilan tenaga kerja di Indonesia.
Perubahan iklim, ketidakpastian ekonomi global, dan kebijakan proteksionisme juga memengaruhi stabilitas ketenagakerjaan. Namun, ada tren positif seperti penurunan inflasi di beberapa negara berkembang dan pemulihan sektor pariwisata. Sektor energi terbarukan juga berpotensi menciptakan lapangan kerja baru. Tantangan ini memerlukan solusi komprehensif dan kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta.
Memahami Faktor Penyebab Tingginya Angka NEET
Beberapa faktor utama berkontribusi pada tingginya angka NEET di Indonesia. Pertama, keterbatasan akses terhadap pendidikan dan pelatihan berkualitas, terutama bagi pemuda dari keluarga kurang mampu. Kedua, ketidaksesuaian keterampilan lulusan dengan kebutuhan pasar kerja akibat kurikulum yang kurang fleksibel dan minimnya kolaborasi antara dunia pendidikan dan industri. Ketiga, kurangnya kesempatan kerja, terutama bagi lulusan baru yang seringkali kalah bersaing dengan pekerja berpengalaman.
Keempat, hambatan sosial dan budaya, seperti peran gender yang membatasi akses perempuan terhadap pekerjaan dan pelatihan. Kelima, ketimpangan wilayah, dengan angka NEET yang tinggi di daerah tertinggal akibat kurangnya infrastruktur, fasilitas pendidikan, dan peluang kerja. Keenam, dampak jangka panjang pandemi COVID-19 yang menyebabkan PHK massal dan ketidakpastian ekonomi. Semua faktor ini saling terkait dan memerlukan pendekatan terintegrasi untuk penanganannya.
"Meskipun terjadi penurunan sejak 2015, angka ini tetap menunjukkan bahwa satu dari lima pemuda di Indonesia masih berada dalam kategori NEET. Hal ini menandakan bahwa masih ada tantangan struktural yang harus diatasi untuk memastikan pemuda memiliki akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan pelatihan yang memadai." kata Dr. Aswin Rivai, SE., MM.
Strategi dan Kebijakan untuk Menurunkan Angka NEET
Pemerintah dan sektor swasta perlu berkolaborasi dalam menerapkan beberapa strategi kebijakan. Pertama, meningkatkan akses terhadap pendidikan dan pelatihan berkualitas melalui beasiswa, program pelatihan vokasional berbasis industri, dan reformasi kurikulum yang lebih adaptif dengan kebutuhan pasar kerja. Kedua, mendorong program kewirausahaan dengan menyediakan akses modal, inkubator bisnis, dan pendampingan bagi pemuda.
Ketiga, memperluas lapangan kerja dengan mendorong investasi di sektor padat karya, memberikan insentif kepada perusahaan yang mempekerjakan lulusan baru, dan mengembangkan ekonomi hijau dan sektor teknologi. Keempat, meningkatkan kesetaraan gender dengan kebijakan cuti parental, fasilitas penitipan anak, dan peningkatan akses perempuan terhadap pelatihan dan pengembangan karier. Kelima, membangun infrastruktur dan meningkatkan akses di daerah tertinggal untuk mendukung pendidikan dan pelatihan berbasis online dan menciptakan peluang kerja di daerah terpencil.
Model ILO menunjukkan bahwa transisi energi akan menghasilkan penciptaan lapangan kerja secara keseluruhan, asalkan pemerintah berinvestasi dalam pendidikan dan pelatihan ulang tenaga kerja. Namun, akan ada banyak gangguan di sepanjang jalan. Investasi besar dalam energi, telekomunikasi, dan pelatihan keterampilan dapat menciptakan 57 juta pekerjaan di sektor hijau dan digital.
Kesimpulan
Penurunan angka NEET memerlukan upaya komprehensif dan berkelanjutan dari berbagai pihak. Dengan mengatasi keterbatasan akses pendidikan, ketidaksesuaian keterampilan, dan ketimpangan wilayah, Indonesia dapat memberdayakan pemuda dan meningkatkan daya saing di kancah global. Kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sangat krusial untuk mencapai tujuan ini dan memastikan generasi muda Indonesia menjadi tenaga kerja yang produktif dan kompetitif.