Paradoks Efisiensi: Kabinet Gemuk vs. Penghematan Anggaran Rp306,7 Triliun
Pemerintahan Prabowo Subianto dihadapkan pada paradoks: kebijakan efisiensi anggaran yang ketat diiringi pembentukan Kabinet Merah Putih terbesar dalam sejarah Indonesia, memicu pertanyaan tentang konsistensi komitmen penghematan.
![Paradoks Efisiensi: Kabinet Gemuk vs. Penghematan Anggaran Rp306,7 Triliun](https://cdns.klimg.com/mav-prod-resized/0x0/ori/image_bank/2025/02/12/140514.740-paradoks-efisiensi-kabinet-gemuk-vs-penghematan-anggaran-rp3067-triliun-1.jpg)
Jakarta, 12 Februari 2025 (ANTARA) - Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yang dilantik pada 21 Oktober 2024, menunjukkan sebuah paradoks menarik: komitmen kuat pada efisiensi anggaran beriringan dengan pembentukan Kabinet Merah Putih yang tergolong besar. Kebijakan penghematan anggaran hingga Rp306,7 triliun ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang konsistensi dan efektivitas strategi pemerintahan.
Efisiensi Anggaran: Antara Ideal dan Realita
Efisiensi anggaran menjadi prioritas utama pemerintahan Prabowo. Langkah-langkah penghematan dilakukan dengan cermat, termasuk pemangkasan anggaran perjalanan dinas, pengurangan drastis penggunaan alat tulis kantor (hingga 90 persen), dan pembatalan program-program yang dianggap tidak esensial. Ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam mengelola keuangan negara dengan hati-hati, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Namun, pembentukan Kabinet Merah Putih dengan 48 menteri, 5 kepala badan, dan 59 wakil menteri (total 112 pejabat) menimbulkan pertanyaan. Apakah struktur birokrasi yang besar ini sejalan dengan semangat efisiensi yang diusung?
Dampak Pemangkasan Anggaran
Beberapa kementerian merasakan dampak signifikan dari kebijakan efisiensi. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah misalnya, mengalami pemotongan anggaran sebesar Rp8 triliun, termasuk pengurangan alat tulis kantor. Kementerian Pekerjaan Umum juga terkena dampak, dengan pengurangan anggaran lebih dari 70 persen, yang mengakibatkan penundaan beberapa proyek infrastruktur seperti jalan tol dan bendungan. Menteri PU, Dody Hanggodo, harus memfokuskan anggaran pada empat bidang utama: sumber daya air (Rp10,70 triliun), jalan dan jembatan (Rp12,48 triliun), cipta karya (Rp3,78 triliun), dan prasarana strategis (Rp1,16 triliun).
Di sisi lain, beberapa kementerian strategis, seperti Kementerian Pertahanan, tetap mendapatkan alokasi anggaran yang besar, mencerminkan prioritas pemerintah pada sektor pertahanan nasional. Meskipun hal ini bisa dimaklumi dalam konteks geopolitik, perbedaan alokasi anggaran ini menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dan keseimbangan dalam implementasi kebijakan efisiensi.
Studi Banding: Jerman dan Selandia Baru
Studi banding ke negara lain, seperti Jerman dan Selandia Baru, menunjukkan bahwa ukuran kabinet bukan satu-satunya penentu efektivitas pemerintahan. Jerman, dengan kabinetnya yang ramping, menunjukkan efisiensi pemerintahan yang tinggi. Selandia Baru, dengan pendekatan kebijakan publik berbasis data dan transparansi, juga membuktikan bahwa efisiensi birokrasi mampu meningkatkan kepercayaan publik. Kedua negara ini menunjukkan bahwa efektivitas bergantung pada bagaimana setiap kementerian bekerja secara efisien dan selaras dengan visi nasional.
Biaya Birokrasi dan Potensi Penyalahgunaan
Sejumlah analis menilai bahwa kebijakan efisiensi anggaran pemerintahan Prabowo mungkin tidak sepenuhnya efektif selama struktur kabinet tetap besar. Biaya operasional yang tinggi, termasuk gaji dan anggaran pendukung untuk kegiatan kementerian, dapat mengimbangi atau bahkan melebihi penghematan dari pemangkasan anggaran di sektor lain. Hal ini menekankan perlunya keseimbangan dalam prioritas anggaran.
Ekonom Kusfiardi dari FINE Institute menekankan pentingnya transparansi dan pengawasan dalam implementasi kebijakan efisiensi anggaran melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 untuk mencegah penyalahgunaan. Ia menyarankan peningkatan transparansi dengan mempublikasikan rincian pemotongan anggaran per sektor dan daerah, serta audit independen oleh BPK dan KPK. Pengawasan juga perlu dilakukan oleh DPR dan lembaga independen, dengan evaluasi berbasis dampak, bukan hanya angka.
Kritik dan Harapan
Presiden Prabowo sendiri telah mengkritik pejabat yang ia sebut sebagai “raja-raja kecil” yang seringkali menghambur-hamburkan anggaran. Namun, kritik publik tetap bermunculan karena ketidakkonsistenan antara penghematan dan pembengkakan birokrasi. Efisiensi anggaran bukan hanya tentang angka, tetapi juga tentang dampak nyata bagi masyarakat. Pemerintah yang efisien memberikan layanan publik berkualitas tinggi dengan biaya wajar, mengelola sumber daya bijak, dan memastikan setiap kebijakan memberikan manfaat nyata bagi rakyat. Presiden Prabowo memiliki kesempatan untuk membuktikan bahwa efisiensi dan efektivitas bisa berjalan beriringan, bahkan dengan struktur pemerintahan yang besar. Tantangannya adalah menjaga konsistensi antara janji dan pelaksanaan, karena pada akhirnya, rakyat akan menilai berdasarkan dampak kebijakan dalam kehidupan sehari-hari.