Pemkot Surabaya Berlakukan Sanksi Bagi Pasien TBC yang Mangkir Pengobatan
Pemkot Surabaya menerapkan sanksi sosial, termasuk penonaktifan NIK, bagi pasien TBC yang mangkir pengobatan sebagai upaya pencegahan dan pengendalian penyakit menular ini.

Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya memberlakukan sanksi tegas bagi pasien tuberkulosis (TBC) yang mangkir dari pengobatan rutin. Kebijakan ini diumumkan pada Senin, 28 April 2024, sebagai bagian dari upaya pencegahan dan pengendalian penyakit TBC di Surabaya. Langkah ini diambil karena pasien TBC yang tidak menjalani pengobatan dengan rutin berpotensi menularkan penyakit kepada orang lain.
Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, menjelaskan bahwa sanksi yang diterapkan berupa penonaktifan nomor induk kependudukan (NIK) pasien TBC yang terbukti mangkir. "Sudah tahu sakit kenapa tidak mau diobati, tidak mau menjaga dirinya, kalau itu (penderita TBC) berjalan kan bisa menular ke orang lain. Kita punya datanya, sehingga nanti kalau warga Surabaya memang dia sakit, kemudian tidak mau diobati ya sudah, kita bekukan KTP-nya," tegasnya. Langkah ini bertujuan untuk mendorong kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan dan mencegah penyebaran penyakit.
Penerapan sanksi ini didasari pada Peraturan Wali Kota (Perwali) Nomor 117 Tahun 2024. Selain penonaktifan NIK, sanksi lain yang diterapkan meliputi penempelan stiker 'Mangkir Pengobatan' di rumah pasien dan penonaktifan BPJS Kesehatan. Pemkot Surabaya membentuk tim hexahelix yang terdiri dari berbagai unsur, termasuk unsur kecamatan, kelurahan, puskesmas, dan tokoh masyarakat, untuk melakukan intervensi dan pengawasan.
Sanksi Sosial dan Tim Hexahelix
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Surabaya, Nanik Sukristina, menjelaskan mekanisme penerapan sanksi. Pasien TBC Sensitif Obat (SO) dan TBC Resisten Obat (RO) yang mangkir selama satu minggu tanpa konfirmasi akan mendapatkan kunjungan rumah dari puskesmas dan tim hexahelix. Jika setelah tiga kali kunjungan masih tetap menolak pengobatan, rumah pasien akan ditempel stiker 'Mangkir Pengobatan'.
Tim hexahelix berperan penting dalam memberikan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) kepada pasien dan keluarganya. Tim ini terdiri atas unsur kecamatan, kelurahan, puskesmas, bhabinkamtibmas, babinsa, RT/RW, tokoh agama, tokoh masyarakat, satgas TBC, Kader Surabaya Hebat (KSH), hingga peer educator. Mereka akan berupaya membujuk pasien untuk kembali menjalani pengobatan.
Penonaktifan NIK dan BPJS Kesehatan akan dilakukan sebagai langkah terakhir jika pasien tetap menolak pengobatan dan menolak penempelan stiker. Pasien yang menolak menandatangani surat pernyataan penolakan pengobatan akan dibuatkan berita acara penolakan. Hal ini bertujuan untuk memastikan adanya dokumentasi yang jelas terkait penolakan pengobatan.
Skrining TBC Bagi Penduduk Pindahan
Kebijakan ini tidak hanya berlaku bagi warga Surabaya, tetapi juga bagi warga pendatang. Sesuai Perwali Nomor 117 pasal 1 ayat 19, pasal 9, dan 25 huruf f, warga yang pindah ke Surabaya wajib melakukan skrining TBC di puskesmas setempat. Hasil skrining ini menjadi syarat untuk pengambilan KTP. Jika hasil skrining menunjukkan gejala TBC, maka pasien akan langsung mendapatkan penanganan medis.
Pemkot Surabaya berharap langkah tegas ini dapat menekan angka penderita TBC dan mencegah penyebaran penyakit. Dengan melibatkan berbagai pihak dalam tim hexahelix, diharapkan upaya edukasi dan persuasi dapat berjalan efektif. Namun, sanksi yang tegas juga menjadi peringatan bagi mereka yang mengabaikan pengobatan dan berpotensi membahayakan masyarakat.
Melalui program ini, Pemkot Surabaya berupaya untuk menciptakan lingkungan yang sehat dan bebas dari penyakit menular. Dengan adanya sanksi dan upaya pencegahan yang komprehensif, diharapkan kualitas kesehatan masyarakat Surabaya dapat terus meningkat.