Revisi UU Kejaksaan: Jaksa Tak Kebal Hukum, Tegaskan Komjak RI
Komisi Kejaksaan RI menegaskan revisi UU Kejaksaan yang masuk Prolegnas 2025 tak membuat jaksa kebal hukum, melainkan bertujuan memperkuat koordinasi penegakan hukum dan mencegah penyalahgunaan wewenang.
Solo, 11 Februari 2024 - Komisi Kejaksaan (Komjak) RI memberikan klarifikasi terkait revisi Undang-Undang (UU) Kejaksaan yang menuai pro dan kontra. Ketua Komjak RI, Pujiyono Suwadi, menegaskan bahwa revisi UU Kejaksaan sama sekali tidak akan memberikan kekebalan hukum bagi para jaksa. Hal ini disampaikannya dalam diskusi Lembaga Jarcomm di Solo, Jawa Tengah, Selasa lalu, yang membahas urgensi penguatan lembaga Kejaksaan.
Menepis Kekhawatiran Publik
Sejak masuknya Rancangan Undang-Undang (RUU) revisi UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dan RUU perubahan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025, muncul kekhawatiran publik. Dua isu utama mengemuka: kekhawatiran jaksa mengambil alih peran penyidik kepolisian dan anggapan bahwa revisi ini memberikan hak imunitas kepada jaksa.
Pujiyono Suwadi dengan tegas membantah kedua kekhawatiran tersebut. Ia menjelaskan bahwa revisi UU Kejaksaan sama sekali tidak mengatur pengambilalihan peran penyidik kepolisian oleh Kejaksaan. Sebaliknya, revisi ini justru mendorong peningkatan koordinasi dan supervisi dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagai bagian dari Integrated Criminal Justice System (ICJS).
“Distribusi kewenangan pada ICJS adalah legitimatif terhadap prinsip koordinasi dan kooperasi antara dua pilar penegak hukum, polisi, dan jaksa. Model ini bisa meminimalisasi ego sektoral antara dua lembaga,” jelas Suwadi.
Penjelasan Mengenai Izin Jaksa Agung
Lebih lanjut, Suwadi menjelaskan bahwa tuduhan jaksa akan kebal hukum setelah revisi juga tidak berdasar. Pasal mengenai izin Jaksa Agung dalam ayat 4 UU Nomor 16 Tahun 2004 dan ayat 5 UU Nomor 11 Tahun 2021 tetap dipertahankan. Artinya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa tetap memerlukan izin Jaksa Agung.
“Yang diributkan yakni dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan dan penahanan terhadap jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung. Itu ada sejak UU sebelumnya,” tegas Suwadi.
Ia menekankan bahwa revisi UU Kejaksaan bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada pencari keadilan, melindungi dan menjaga demokrasi, serta mencegah penyalahgunaan wewenang penegak hukum untuk kepentingan politik.
Penguatan Kejaksaan dan Pencegahan Monopoli
Suwadi memastikan bahwa perluasan kewenangan Kejaksaan tidak akan mengakibatkan monopoli kekuasaan pendakwaan atau penuntutan yang absolut. Justru sebaliknya, penguatan Kejaksaan melalui revisi UU ini diharapkan akan meningkatkan efektivitas Kejaksaan Agung di bawah kepemimpinan ST Burhanuddin dalam mengungkap kasus-kasus korupsi yang merugikan negara.
Senada dengan Komjak RI, pegiat antikorupsi Alif Basuki juga menilai revisi UU Kejaksaan penting untuk pembaruan sistem koordinasi antara Kejaksaan dan Kepolisian. Ia menekankan bahwa revisi ini diharapkan dapat memperkuat peran dan posisi Kejaksaan, mengingat apresiasi terhadap kinerja Kejaksaan dalam mengungkap kasus-kasus korupsi besar belakangan ini.
“Polemik revisi UU Kejaksaan saya berharap jadi pintu masuk agar peran dan posisi Kejaksaan diperkuat, karena dalam kurun waktu terakhir ini kinerja diapresiasi. Ada kasus-kasus korupsi besar yang diungkap,” kata Alif Basuki.
Kesimpulan
Revisi UU Kejaksaan yang akan masuk Prolegnas 2025 bertujuan untuk meningkatkan koordinasi dan efektivitas penegakan hukum di Indonesia, bukan untuk memberikan kekebalan hukum kepada jaksa. Komjak RI dan para ahli hukum menekankan pentingnya memahami substansi revisi untuk menghindari kesalahpahaman dan menjaga integritas sistem peradilan Indonesia.