Rupiah Melemah Akibat Kepastian Tarif Resiprokal AS: Ancaman Perang Dagang Global?
Nilai tukar rupiah melemah signifikan setelah Menteri Perdagangan AS memastikan penerapan tarif resiprokal, memicu sentimen risk off di pasar dan kekhawatiran atas dampak perang dagang AS-China.

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kembali melemah, ditutup pada angka Rp16.822 per dolar AS pada penutupan perdagangan Senin, 7 April 2024. Pelemahan sebesar 169 poin atau 1,01 persen ini dipicu oleh pernyataan Menteri Perdagangan Amerika Serikat (AS), Howard Lutnick, yang memastikan rencana penerapan tarif resiprokal AS tidak akan ditunda. Pernyataan ini meningkatkan sentimen risk off di pasar, terutama pada pasar ekuitas dan mata uang negara berkembang (emerging markets).
Keputusan AS untuk menerapkan tarif resiprokal ini telah diumumkan sebelumnya oleh Presiden Donald Trump. Kenaikan tarif, yang mencapai minimal 10 persen, diberlakukan terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia, sebagai respon atas praktik perdagangan yang dianggap tidak adil oleh pemerintah AS. Indonesia sendiri berada di urutan kedelapan dalam daftar negara yang terkena dampak, dengan kenaikan tarif hingga 32 persen.
Analis Doo Financial Futures, Lukman Leong, menjelaskan bahwa pelemahan rupiah tak lepas dari sentimen risk off yang kuat dan berkelanjutan. Ia menambahkan, "Rupiah tertekan oleh sentimen risk off yang masih sangat kuat dan berlanjut di pasar ekuitas dan mata-mata uang emerging yang masih melemah cukup besar pagi ini. Sentimen risk off dipicu oleh pernyataan Mendag AS yang memastikan tarif tidak akan ditunda."
Dampak Tarif Resiprokal AS terhadap Indonesia dan Negara Lain
Penerapan tarif resiprokal AS berdampak luas, tidak hanya bagi Indonesia. Beberapa negara di Asia Tenggara, seperti Malaysia (24 persen), Kamboja (49 persen), Vietnam (46 persen), dan Thailand (36 persen), juga mengalami kenaikan tarif impor ke AS. Pemerintah AS berdalih bahwa tarif ini bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja di dalam negeri dan mengatasi apa yang dianggap sebagai kerugian akibat praktik perdagangan tidak adil dari negara-negara lain.
Namun, dampaknya meluas hingga ke hubungan dagang AS-China. Tarif yang diterapkan AS terhadap barang impor China mencapai 54 persen, memicu balasan dari China berupa tarif tambahan 34 persen untuk barang-barang dari AS. Perang dagang ini semakin memperkeruh situasi ekonomi global dan berdampak pada nilai tukar mata uang berbagai negara, termasuk rupiah.
Selain tarif resiprokal, AS juga telah memberlakukan tarif tambahan untuk berbagai produk, seperti mobil (25 persen mulai 3 April 2025), baja dan aluminium (25 persen), dan barang-barang asal China (20 persen). China pun membalas dengan tarif tambahan untuk berbagai produk AS, termasuk batu bara, gas alam cair, minyak mentah, dan produk pertanian.
Ancaman Perang Dagang dan Intervensi Bank Indonesia
Lukman Leong memprediksi tekanan terhadap rupiah akan berlanjut selama ancaman perang dagang masih membayangi. Ia memperkirakan Bank Indonesia (BI) akan terus melakukan intervensi untuk menjaga nilai tukar rupiah agar tidak jauh dari angka Rp17.000 per dolar AS. "Tekanan pada rupiah masih akan berkelanjutan selama perang dagang masih mengancam. BI (Bank Indonesia) diperkirakan akan terus mengintervensi menjaga rupiah di bawah atau tidak jauh dari Rp17 ribu. Tanpa intervensi, Rp17 ribu tidak akan bisa dipertahankan," tegas Lukman.
Perang dagang AS-China dan penerapan tarif resiprokal AS menimbulkan ketidakpastian ekonomi global yang signifikan. Situasi ini berdampak pada investor dan pasar keuangan, yang cenderung menghindari aset berisiko (risk off) dan menyebabkan pelemahan nilai tukar rupiah. Perkembangan selanjutnya dalam hubungan dagang AS-China dan kebijakan AS terkait tarif impor akan sangat menentukan stabilitas nilai tukar rupiah ke depan.
Sebagai informasi tambahan, China merupakan eksportir terbesar kedua ke AS setelah Meksiko, dan pasar ekspor terbesar ketiga AS setelah Kanada dan Meksiko. Nilai ekspor China ke AS mencapai 426,9 miliar dolar AS, sementara impor AS dari China mencapai 147,8 miliar dolar AS.
Kesimpulan
Pelemahan rupiah yang terjadi merupakan dampak langsung dari meningkatnya sentimen negatif di pasar global akibat kebijakan proteksionis AS. Perkembangan selanjutnya dari perang dagang AS-China dan langkah-langkah yang diambil oleh Bank Indonesia akan sangat menentukan arah nilai tukar rupiah di masa mendatang.