Tarif Impor AS Picu Pelemahan Rupiah, Perang Dagang AS-China Berlanjut
Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS disebabkan oleh pemberlakuan tarif impor tambahan oleh Amerika Serikat terhadap barang-barang impor dari China, yang meningkatkan tensi perang dagang antara kedua negara.

Amerika Serikat (AS) memberlakukan tarif impor tambahan sebesar 50 persen terhadap barang-barang dari China pada Rabu (9/4). Kebijakan ini, menurut analis Bank Woori Saudara Rully Nova, turut memengaruhi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Hal ini terjadi setelah China sebelumnya menaikkan tarif impor terhadap barang-barang AS sebesar 34 persen. Perang dagang antara dua ekonomi terbesar dunia ini berdampak signifikan terhadap pasar keuangan global, termasuk Indonesia.
"Pengenaan tarif 100 persen lebih (secara total 104 persen) terhadap China akan memukul nilai tukar emerging market, termasuk rupiah," ungkap Rully Nova kepada ANTARA di Jakarta. Presiden AS Donald Trump mengancam akan mengenakan tarif tambahan jika China tidak membatalkan kenaikan tarif sebelumnya. Ancaman ini berdampak langsung pada ketidakpastian pasar dan menyebabkan pelemahan mata uang sejumlah negara berkembang.
Pemberlakuan tarif tambahan ini merupakan eskalasi terbaru dalam perang dagang AS-China yang telah berlangsung beberapa waktu. China merespon dengan menyatakan bahwa tindakan AS tidak berdasar dan merupakan praktik intimidasi sepihak. Beijing menegaskan akan memberikan tindakan balasan untuk melindungi kepentingan nasional dan mempertahankan tatanan perdagangan internasional.
Dampak Perang Dagang terhadap Rupiah
Pelemahan rupiah pada Rabu pagi mencapai 20 poin atau 0,21 persen, berada di angka Rp16.911 per dolar AS. Meskipun demikian, Rully menilai pelemahan tersebut tidak terlalu dalam berkat intervensi Bank Indonesia (BI) di pasar spot dan pasar Non-Deliverable Forward (NDF). Intervensi ini bertujuan untuk menstabilkan nilai tukar rupiah dan mengurangi dampak negatif dari perang dagang.
Secara keseluruhan, tarif pemerintah AS terhadap barang impor dari China mencapai 104 persen, terdiri dari bea tambahan impor sebesar 20 persen, tarif resiprokal 34 persen, dan tarif tambahan terbaru sebesar 50 persen. China sendiri telah menerapkan tarif tambahan hingga 15 persen untuk beberapa produk pertanian utama AS.
Sebagai konteks, China merupakan eksportir terbesar kedua AS setelah Meksiko dan pasar ekspor terbesar ketiga AS setelah Kanada dan Meksiko. Nilai ekspor China ke AS mencapai 426,9 miliar dolar AS, sementara impor AS dari China mencapai 147,8 miliar dolar AS.
Perang Dagang dan Prospek Rupiah
Rully memprediksi, dalam jangka pendek, rupiah masih akan berada di bawah tekanan akibat isu resesi ekonomi yang ditimbulkan oleh perang tarif. Namun, ia optimistis rupiah berpeluang menguat dalam jangka menengah seiring perkembangan negosiasi tarif antara AS dan China. Keberhasilan negosiasi tersebut akan memberikan kepastian pasar dan mengurangi tekanan terhadap rupiah.
Juru Bicara Kementerian Perdagangan China menegaskan komitmen untuk berjuang hingga akhir jika AS tetap berkeras dengan kebijakan tarif tambahan. Pernyataan ini menunjukkan bahwa perang dagang AS-China masih akan berlanjut dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian ekonomi global lebih jauh.
Situasi ini menuntut kewaspadaan dan strategi yang tepat dari pemerintah Indonesia untuk menjaga stabilitas ekonomi dan nilai tukar rupiah. Intervensi BI dan langkah-langkah kebijakan lainnya akan sangat penting untuk mengurangi dampak negatif dari perang dagang AS-China terhadap perekonomian Indonesia.