RUU Narkotika: BNN Tekankan Kejelasan Kewenangan dan Peran Kelembagaan
Badan Narkotika Nasional (BNN) mendesak agar revisi RUU Narkotika dan Psikotropika memberikan kejelasan peran dan kewenangan lembaga penegak hukum demi efektifitas pemberantasan narkotika.

Badan Narkotika Nasional (BNN) menegaskan perlunya kejelasan pengaturan kewenangan dan peran kelembagaan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Narkotika dan Psikotropika. Hal ini disampaikan dalam Sarasehan Revisi Undang-Undang Narkotika dan Psikotropika di Jakarta pada Selasa (29/4) lalu. Acara ini membahas urgensi peran BNN dalam revisi RUU tersebut. Kepala BNN, Komjen Pol. Marthinus Hukom, menekankan pentingnya kejelasan peran lembaga dalam konteks penegakan hukum terkait narkotika.
Menurut Komjen Pol. Marthinus, seperti dikonfirmasi pada Rabu (30/4), "Saya meminta para pejabat harus mampu berinteraksi untuk membentuk suatu argumen yang kuat bahwa dalam revisi UU ini penjelasan tentang nama kelembagaan itu menjadi sangat penting dan itu akan kami minta dari para ahli." Kejelasan peran lembaga, khususnya BNN, akan memperjelas upaya penegakan hukum dalam pemberantasan narkotika. Hal ini penting untuk menghindari tumpang tindih kewenangan dan memastikan efektivitas pemberantasan narkotika.
Deputi Hukum dan Kerja Sama BNN, Agus Irianto, turut menyoroti urgensi revisi RUU untuk mencegah degradasi kewenangan antar lembaga penegak hukum. Ia menekankan perlunya revisi untuk menghindari kekacauan hukum akibat perbedaan semangat penegakan hukum. Sebagai contoh, Agus Irianto menyinggung adanya potensi konflik antara keadilan restoratif (restorative justice) dan pemidanaan dalam penanganan kasus narkotika.
Permasalahan dalam RUU Narkotika
BNN mengidentifikasi beberapa poin permasalahan dalam RUU Narkotika yang perlu mendapat perhatian serius. Salah satu masalah utama adalah rumusan ketentuan pidana yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Perbedaan pengaturan kewenangan penyidik BNN dan Polri juga menimbulkan ketidakpastian dalam penegakan hukum tindak pidana narkotika dan psikotropika. Hal ini perlu segera diatasi agar proses penegakan hukum dapat berjalan efektif dan konsisten.
Penggunaan harta kekayaan hasil tindak pidana narkotika untuk kegiatan P4GN (Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika) dan rehabilitasi juga dinilai belum maksimal. BNN mendorong agar revisi RUU dapat mengatasi permasalahan ini. Kejelasan definisi pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan narkotika juga menjadi poin penting yang perlu dibenahi. Saat ini, masih terdapat ketidakjelasan yang berdampak pada penanganan yang sama antara bandar, pengedar, dan pengguna narkotika.
Standarisasi lembaga rehabilitasi narkotika, baik pemerintah maupun swasta, juga perlu diperhatikan. Peran Tim Asesmen Terpadu (TAT) dalam menganalisis tingkat kecanduan dan menentukan model penanganan juga dinilai belum optimal. Revisi RUU diharapkan dapat mengatasi semua permasalahan tersebut.
Sarasehan RUU Narkotika
Sarasehan yang digelar BNN mengundang beberapa narasumber ahli, termasuk Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Harkristuti Harkrisnowo, Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan I Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum, Roberia, dan Deputi Hukum dan Kerja Sama BNN, Agus Irianto. Diskusi ini bertujuan untuk merumuskan solusi atas permasalahan yang dihadapi dalam revisi RUU Narkotika dan memastikan revisi RUU ini dapat menghasilkan sistem penegakan hukum yang lebih efektif dan berkeadilan.
Kesimpulannya, revisi RUU Narkotika harus memperhatikan secara seksama berbagai aspek, termasuk kejelasan kewenangan dan peran lembaga, definisi yang tepat, serta optimalisasi penggunaan aset hasil kejahatan narkotika. Tujuan utama revisi ini adalah untuk menciptakan sistem yang lebih efektif dalam memberantas narkotika dan melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan narkotika.