Solusi Sampah Indonesia: Antara PLTSa, RDF, dan Perubahan Perilaku
Pemerintah Indonesia berupaya mengatasi masalah sampah dengan teknologi PLTSa dan RDF, serta mendorong perubahan perilaku masyarakat untuk mengurangi timbulan sampah.

Apa, Siapa, Di mana, Kapan, Mengapa, dan Bagaimana? Permasalahan sampah di Indonesia, yang kembali disorot setelah disebut sebagai salah satu tempat sampah dunia oleh seorang rapper Amerika Serikat, telah menjadi perhatian serius pemerintah. Sejak bencana longsor sampah TPA Leuwigajah pada 2005, berbagai upaya telah dilakukan, termasuk penerbitan UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Namun, hingga kini, pengelolaan sampah masih belum optimal, dengan sekitar 40,12 persen sampah tidak terkelola dan berpotensi mencemari lingkungan, menghasilkan kerugian ekonomi hingga Rp250 triliun. Pemerintah berupaya mencari solusi teknologi untuk mengatasi masalah ini, sekaligus mendorong perubahan perilaku masyarakat.
Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mencatat timbulan sampah pada 2024 mencapai 33,7 juta ton. Peneliti BRIN memperkirakan 350 ribu ton sampah plastik masuk ke lautan Indonesia pada tahun yang sama. Situasi ini mengancam kesehatan lingkungan dan manusia karena mikroplastik yang dihasilkan dari sampah plastik yang membutuhkan waktu ratusan tahun untuk terurai secara alami.
Berbagai upaya telah dilakukan, termasuk kampanye penggunaan tumbler dan pelarangan kantong plastik sekali pakai di beberapa daerah. Namun, timbunan sampah di TPA open dumping masih masif, bahkan membentuk 'gunung sampah' di beberapa lokasi. Oleh karena itu, pemerintah mengupayakan solusi teknologi untuk mengurangi dan mengolah sampah yang telah menumpuk.
Teknologi PLTSa dan RDF sebagai Solusi
Pemerintah berupaya mempercepat pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dengan memangkas perizinan. Target pembangunan PLTSa di 12 kota masih jauh dari tercapai, hanya dua yang beroperasi penuh. Menko Pangan Zulkifli Hasan menjelaskan penggabungan beberapa peraturan pemerintah untuk mempermudah perizinan, termasuk penetapan tarif listrik PLTSa di atas 13,5 sen per kWh.
"Dengan aturan yang baru, rencananya proses akan dimudahkan hanya melewati proses perizinan dari ESDM dan PT PLN," ujar Menko Pangan Zulkifli Hasan. Penggunaan PLTSa dianggap perlu karena upaya perubahan perilaku masyarakat belum mampu mengatasi timbulan sampah yang terus meningkat. Pemerintah juga memastikan teknologi yang digunakan menekan potensi polutan dioksin dan furan.
Selain PLTSa, pemerintah juga mendorong penggunaan Refuse Derived Fuel (RDF), yang memanfaatkan sampah sebagai bahan bakar alternatif. Sampah dibentuk menjadi pelet untuk menggantikan batu bara. Wakil Menteri Lingkungan Hidup Diaz Hendropriyono menyoroti potensi besar RDF bagi industri, khususnya industri semen yang membutuhkan pengganti batu bara.
"Mengambil contoh seperti kebutuhan kompleks pabrik salah satu produsen semen terbesar Indonesia di Citeureup di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, dia menyebut fasilitas tersebut memiliki kebutuhan 2.500 ton RDF setiap harinya. Saat ini, masih terjadi kekurangan pasokan sekitar 1.000 ton per hari." KLH mendukung kolaborasi antara pemerintah daerah dan industri untuk memanfaatkan RDF.
Tantangan dan Harapan
Meskipun PLTSa dan RDF diharapkan dapat berkontribusi signifikan dalam mengurangi sampah, kedua teknologi ini bukan solusi tunggal. Kesadaran dunia usaha dan perubahan perilaku masyarakat tetap dibutuhkan untuk mencapai target pengelolaan sampah 100 persen pada 2029 sesuai RPJMN 2025-2029. Upaya ini membutuhkan kolaborasi antara pemerintah, industri, dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Perlu diingat bahwa teknologi semata tidak cukup. Perubahan perilaku masyarakat, seperti mengurangi konsumsi plastik sekali pakai dan memilah sampah, juga sangat penting. Dengan pendekatan terpadu yang melibatkan teknologi dan perubahan perilaku, Indonesia dapat berharap untuk mengatasi masalah sampah yang kompleks ini.
Keberhasilan pengelolaan sampah di Indonesia tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada kesadaran dan partisipasi aktif seluruh lapisan masyarakat. Mulai dari mengurangi penggunaan plastik sekali pakai hingga memilah sampah dengan benar, setiap individu memiliki peran penting dalam menjaga kebersihan lingkungan.