Indonesia Berpacu dengan Waktu: Atasi Masalah Sampah dengan Teknologi dan Perubahan Perilaku
Bencana longsor sampah 2005 mendorong Indonesia mencari solusi pengelolaan sampah yang optimal, memadukan teknologi seperti PLTSa dan RDF dengan perubahan perilaku masyarakat.

Bencana longsor sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah, Jawa Barat, pada tahun 2005, yang menewaskan 157 jiwa, meninggalkan luka mendalam bagi bangsa Indonesia. Tragedi ini menjadi pemicu pemerintah untuk menerbitkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, guna mendorong pengelolaan sampah yang lebih baik dan mengurangi produksi sampah. Namun, dua dekade setelah bencana dan 17 tahun sejak undang-undang tersebut disahkan, pengelolaan sampah di Indonesia masih belum optimal.
Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, produksi sampah pada tahun 2024 mencapai 33,7 juta ton dari laporan 311 kabupaten dan kota. Sekitar 40,12 persen dari sampah tersebut tidak terkelola, menimbulkan risiko kebocoran lingkungan. Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Muhammad Reza Cordova, memperkirakan sekitar 350 ribu ton sampah plastik masuk ke laut Indonesia pada tahun 2024, dengan 70 persen berasal dari aktivitas manusia di darat. Kerugian ekonomi akibat sampah yang mencemari badan air mencapai sekitar Rp250 triliun (sekitar US$15,07 miliar) untuk sektor kelautan, perikanan, dan maritim, belum termasuk kerugian akibat kerusakan lingkungan.
Bahaya besar muncul ketika sampah plastik mencemari perairan dan ekosistem lainnya, karena membutuhkan waktu ratusan tahun untuk terurai secara alami. Selama proses tersebut, plastik terdegradasi, melepaskan mikroplastik, mencemari lingkungan, dan mengancam kehidupan laut serta kesehatan manusia. Meskipun beberapa upaya untuk mendorong pengurangan sampah dan meningkatkan pengelolaan sampah telah menunjukkan kemajuan, seperti tren penggunaan tumbler dan larangan kantong plastik sekali pakai di beberapa daerah, sampah terus menumpuk, diperparah oleh praktik pembuangan sampah terbuka di TPA. Beberapa TPA bahkan memiliki tumpukan sampah setinggi bangunan.
Solusi Teknologi: PLTSa dan RDF
Pemerintah mengambil langkah darurat untuk menemukan solusi teknologi guna mengatasi sampah baru dan sampah lama yang menumpuk di berbagai TPA. Salah satu solusi yang diusung adalah pemanfaatan sampah untuk menghasilkan listrik melalui Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Untuk mempercepat pembangunan PLTSa, pemerintah menyederhanakan proses perizinan. Dari 12 kota target, saat ini hanya dua PLTSa, yaitu Putri Cempo PLTSa di Surakarta dan Benowo PLTSa di Surabaya, yang beroperasi penuh. Menurut Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, beberapa peraturan telah digabungkan untuk menyederhanakan proses perizinan, yang sebelumnya membutuhkan persetujuan dari berbagai pihak.
Dengan peraturan baru, proses perizinan cukup melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta PLN. Tarif listrik PLTSa juga akan dinaikkan. Penggunaan PLTSa dipilih karena produksi sampah yang terus meningkat tidak dapat dikelola hanya dengan upaya perubahan gaya hidup masyarakat. Pemerintah juga menjamin penggunaan teknologi yang dipilih PLN dan didukung oleh Badan Pengelola Investasi, Danantara, untuk meminimalkan emisi polutan.
Selain PLTSa, pemerintah juga mempromosikan penggunaan Refuse Derived Fuel (RDF), yaitu bahan bakar alternatif dari sampah yang diproses menjadi pelet. Wakil Menteri Lingkungan Hidup, Diaz Hendropriyono, menyoroti potensi besar penggunaan RDF di industri, terutama sektor semen. Kebutuhan RDF di industri semen bahkan melebihi kapasitas penyerapan beberapa Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Kementerian Lingkungan Hidup mendukung kolaborasi pemerintah daerah dan industri yang membutuhkan RDF sebagai upaya mengurangi dan mengelola sampah. Langkah ini dinilai penting untuk mencapai target pengelolaan sampah 100 persen pada tahun 2029, sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029.
Peran Masyarakat dan Bisnis
Meskipun teknologi seperti PLTSa dan RDF diharapkan berkontribusi signifikan, keberhasilan pengelolaan sampah di Indonesia juga bergantung pada partisipasi aktif masyarakat dan bisnis. Perubahan perilaku masyarakat, seperti mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dan memilah sampah, sangat penting. Dukungan dari sektor swasta juga krusial dalam investasi dan pengembangan teknologi pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Pengelolaan sampah yang efektif membutuhkan pendekatan terpadu yang melibatkan pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta.
Penerapan teknologi bukanlah solusi tunggal, namun merupakan bagian penting dari strategi menyeluruh untuk mengatasi masalah sampah di Indonesia. Dengan kombinasi teknologi yang tepat, perubahan perilaku, dan kolaborasi yang kuat, Indonesia dapat bergerak menuju pengelolaan sampah yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.