Terdakwa Korupsi Shelter Tsunami NTB Polisikan Direktur PT BKM
Terdakwa kasus korupsi proyek Shelter Tsunami Lombok Utara, Aprialely Nirmala, akan melaporkan Direktur PT BKM, Robinzandhi, ke Polda NTB atas dugaan keterangan palsu dalam kasus tersebut.

Mataram, 14 Maret 2024 (ANTARA) - Aprialely Nirmala, terdakwa kasus korupsi proyek pembangunan gedung tempat evakuasi sementara (TES) atau Shelter Tsunami di Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB), berencana melaporkan Direktur PT Barokah Karya Mataram (BKM), Robinzandhi, ke Kepolisian Daerah (Polda) NTB. Laporan ini terkait dugaan pemberian keterangan palsu atau tidak benar yang disampaikan Robinzandhi sebagai saksi dalam persidangan.
Permasalahan bermula dari Berita Acara Pemeriksaan (BAP) penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam BAP tersebut, Robinzandhi menyatakan Aprialely turut menikmati fee proyek senilai lebih dari Rp1 miliar. Namun, dalam persidangan, Robinzandhi mengubah keterangannya, menyebut informasi tersebut hanya berdasarkan cerita yang didengarnya di warung kopi dari Gematullah, tanpa bukti yang mendukung.
Kuasa hukum Aprialely, Aan Ramadhan, menjelaskan bahwa keterangan Robinzandhi di BAP telah memberatkan kliennya. Pernyataan Robinzandhi di BAP yang menyebutkan bahwa Aprialely merupakan orang kepercayaan Dwi Sugianto (mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum NTB) dan menerima bagian dari fee proyek senilai Rp1,5 miliar, dinilai tidak berdasar dan telah merugikan Aprialely.
Keterangan Bertentangan dan Dampaknya
Perbedaan keterangan Robinzandhi dalam BAP dan persidangan menjadi sorotan. Jaksa penuntut umum bahkan mengingatkan Robinzandhi bahwa keterangannya di BAP telah memberatkan Aprialely. Gematullah, Direktur PT Global Mas yang turut menjadi saksi, membantah memberikan informasi tersebut kepada Robinzandhi.
Meskipun Gematullah membantah, Robinzandhi tetap berpegang pada keterangannya di BAP. Hal ini yang membuat Aprialely merasa dirugikan dan memutuskan untuk menempuh jalur hukum. Aan menegaskan bahwa keterangan Robinzandhi di BAP akan menjadi bukti utama dalam pelaporan ke Polda NTB.
"Dalam persidangan, Robinzandhi ini tidak dapat membuktikan keterangannya dalam BAP itu," ujar Aan. "Jadi, karena keterangan Robinzandhi ini klien kami diberatkan, klien kami dianggap menerima bagian dari fee proyek. Padahal, itu hanya asumsi, tidak dia ketahui secara pasti dan itu terungkap sebagai fakta persidangan Rabu kemarin (12/3)," tambahnya.
Langkah Hukum yang Akan Diambil
Aan menjelaskan bahwa rencana pelaporan ke Polda NTB akan dilakukan sebelum Lebaran. Pihaknya tengah mempersiapkan kelengkapan materi laporan, termasuk keterangan Robinzandhi di BAP dan persidangan. Pelaporan ini akan merujuk pada Pasal 242 ayat (2) KUHP, dengan ancaman hukuman penjara maksimal 9 tahun, atau Pasal 22 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman pidana penjara 3-12 tahun dan denda Rp150 juta hingga Rp600 juta.
Kasus ini menyoroti pentingnya akurasi keterangan saksi dalam proses hukum. Perbedaan keterangan yang signifikan dapat berdampak serius bagi terdakwa, dan dalam kasus ini, Aprialely Nirmala mengambil langkah tegas untuk melindungi haknya.
Pihak kuasa hukum Aprialely Nirmala akan menyertakan keterangan Robinzandhi yang tertera dalam BAP penyidikan KPK sebagai bahan pelengkap laporan. Keterangan di BAP tersebut akan disandingkan dengan keterangan Robinzandhi yang terungkap dalam fakta persidangan untuk memperkuat dasar pelaporan.
Konteks Kasus Korupsi Shelter Tsunami
Kasus korupsi proyek Shelter Tsunami di Lombok Utara ini melibatkan sejumlah pihak, termasuk pejabat pemerintah dan kontraktor. Proyek yang seharusnya ditujukan untuk membantu masyarakat terdampak tsunami, diduga diselimuti praktik korupsi yang merugikan keuangan negara. Kasus ini juga mengungkap dugaan penetapan fee proyek yang tidak transparan dan merugikan para kontraktor yang mengikuti lelang.