Korupsi Proyek Shelter Tsunami Lombok: Jaksa Tuntut PPK 6 Tahun Penjara
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek shelter tsunami Lombok Utara, Aprialely Nirmala, dituntut 6 tahun penjara dan denda Rp300 juta oleh Jaksa KPK karena korupsi yang merugikan negara Rp18,46 miliar.

Mataram, 16 Mei 2024 - Kasus korupsi proyek pembangunan gedung evakuasi sementara atau shelter tsunami di Lombok Utara tahun 2014 memasuki babak baru. Jaksa penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Aprialely Nirmala, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek tersebut, dengan pidana penjara selama enam tahun. Tuntutan dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Mataram pada Jumat lalu. Perkara ini melibatkan kerugian negara yang signifikan dan melibatkan pihak-pihak lain dalam proyek tersebut.
Selain tuntutan pidana penjara, jaksa juga menuntut Aprialely Nirmala membayar denda sebesar Rp300 juta subsider enam bulan kurungan. Tuntutan ini didasarkan pada bukti-bukti yang menunjukkan keterlibatan Aprialely dalam tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara. Kasus ini menyoroti pentingnya pengawasan dan akuntabilitas dalam pengelolaan proyek pemerintah, khususnya proyek yang berkaitan dengan penanggulangan bencana.
Kasus ini bermula dari proyek pembangunan shelter tsunami di Lombok Utara tahun 2014 yang menelan anggaran Rp20,9 miliar. Namun, terdapat penyimpangan yang mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp18,46 miliar. Jaksa KPK telah berhasil mengungkap peran Aprialely dalam korupsi ini, yang turut melibatkan terdakwa lain, Agus Herijanto, kepala pelaksana proyek dari PT Waskita Karya.
Tuntutan Pidana dan Kerugian Negara
Jaksa menyatakan Aprialely terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan Agus Herijanto. Mereka terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP. Bukti-bukti yang diajukan jaksa menunjukkan adanya penyelewengan anggaran yang mengakibatkan kerugian negara yang cukup besar.
Lebih lanjut, jaksa mengungkapkan bahwa Aprialely turut serta memperkaya Agus Herijanto sebesar Rp1,3 miliar. Uang tersebut berasal dari penggunaan anggaran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam laporan akhir pekerjaan. Hal ini menunjukkan adanya unsur pengkhianatan terhadap amanah publik dan merugikan negara secara signifikan.
Dalam tuntutannya, jaksa juga menuntut Agus Herijanto dengan pidana penjara selama 7 tahun 6 bulan dan denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan. Tuntutan yang lebih berat terhadap Agus Herijanto didasarkan pada perannya yang menikmati sebagian besar keuntungan dari korupsi tersebut, yaitu sebesar Rp1,3 miliar. Agus juga dibebankan kewajiban membayar uang pengganti kerugian negara senilai Rp1,3 miliar subsider 2 tahun penjara.
Peran PPK dan Pengawasan Proyek
Kasus ini menyoroti pentingnya peran Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan proyek pemerintah. PPK memiliki tanggung jawab besar dalam mengawasi penggunaan anggaran dan memastikan proyek berjalan sesuai rencana dan aturan yang berlaku. Kegagalan dalam menjalankan tugas ini dapat berakibat fatal, seperti yang terjadi dalam kasus korupsi proyek shelter tsunami di Lombok Utara.
Kejadian ini juga menjadi pengingat pentingnya pengawasan yang ketat terhadap proyek-proyek pemerintah. Mekanisme pengawasan yang efektif dan transparan sangat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya korupsi dan memastikan penggunaan anggaran negara secara bertanggung jawab. Lembaga-lembaga pengawas, seperti KPK, memiliki peran krusial dalam menindak tegas para pelaku korupsi dan mengembalikan kerugian negara.
Putusan pengadilan atas kasus ini akan menjadi preseden penting dalam penegakan hukum di Indonesia. Semoga putusan tersebut dapat memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi dan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan proyek-proyek pemerintah di masa mendatang. Kasus ini juga menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak agar lebih berhati-hati dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas dan kewajibannya.
Proses hukum masih berlanjut dan menunggu putusan hakim. Publik berharap agar proses hukum ini berjalan adil dan transparan, serta memberikan hukuman yang setimpal bagi para pelaku korupsi. Penting bagi Indonesia untuk terus memperkuat sistem pencegahan dan penindakan korupsi agar dapat membangun negara yang bersih dan berwibawa.