Tersangka Korupsi Shelter Tsunami NTB Siap Ungkap Penanganan Polda Sebelumnya
Kuasa hukum tersangka korupsi pembangunan shelter tsunami di Lombok Utara menyatakan akan mengungkap penanganan kasus serupa oleh Polda NTB sebelumnya di persidangan, yang sempat terhenti dan belum memberikan titik terang bagi kliennya.
Mataram, 21 Januari 2024 - Tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan shelter tsunami di Lombok Utara, Aprialely Nirmala, siap membongkar penanganan kasus yang dilakukan Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat (Polda NTB) sebelum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil alih. Hal ini disampaikan Aan Ramadhan, kuasa hukum Aprialely, usai mendampingi kliennya dipindahkan dari Lapas Perempuan Kelas III Mataram.
Aan menegaskan, "Terkait penanganan yang dilakukan Polda NTB, pasti akan kami ungkap di persidangan." Polda NTB diketahui telah menangani kasus ini sejak 2015, berawal dari laporan masyarakat. Penyelidikan kala itu bahkan melibatkan ahli konstruksi dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya untuk uji bangunan shelter.
Namun, proses hukum seakan berhenti setelah hasil uji bangunan tersebut dianalisis. Kehilangan jejak penanganan oleh Polda NTB ini diduga diperparah oleh gempa bumi 7 SR yang mengguncang Lombok pada 2018. Meskipun Aprialely mengaku pernah memberikan keterangan kepada Polda NTB, Ia menyatakan tidak mendapat pendampingan hukum saat itu.
Kejutan datang dua tahun lalu saat Aprialely mengetahui KPK turut menangani kasus yang sama. Aan menjelaskan, "Klien saya kaget, kok tiba-tiba perkara ini sudah pindah ke KPK. Setelah pemeriksaan kedua di KPK, langsung ditetapkan tersangka." Hingga kini, Aprialely belum menerima surat resmi terkait status penanganan kasusnya di Polda NTB, sehingga belum ada kejelasan terkait hasil pemeriksaan tersebut.
Sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek shelter tsunami dari Satuan Kerja Penataan Bangunan dan Lingkungan (Satker PBL) Provinsi NTB, Aprialely menjadi tersangka bersama Agus Herijanto, pensiunan BUMN Karya sebagai kepala proyek. KPK menduga Aprialely bertanggung jawab atas penurunan spesifikasi material bangunan, tanpa kajian sesuai rencana pembangunan gedung shelter tsunami tahan gempa 9 SR.
Gempa 7 SR pada 5 Agustus 2018, pasca serah terima proyek ke Pemkab Lombok Utara pada 2017, mengakibatkan kerusakan parah pada shelter seluas 1 hektare tersebut. Kondisi ini diperkuat oleh hasil penilaian tim ahli konstruksi ITB, dan audit yang menyatakan kerugian negara mencapai Rp19 miliar sebagai total loss.
Berbekal bukti tersebut, KPK menetapkan Aprialely dan Agus sebagai tersangka pada 2023. Mereka diduga melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Persidangan mendatang akan menjadi kunci untuk mengungkap kronologi lengkap kasus ini, termasuk peran Polda NTB dan alasan terhentinya proses hukum sebelumnya. Publik menantikan transparansi dan pertanggungjawaban dari semua pihak yang terlibat.