Eksepsi Terdakwa Korupsi Shelter Tsunami Lombok Utara: Polda NTB Dipertanyakan
Kuasa hukum terdakwa korupsi proyek shelter tsunami Lombok Utara mempertanyakan penanganan kasus serupa di Polda NTB, karena belum ada kejelasan status perkara sebelum KPK mengambil alih.

Sidang perdana kasus korupsi proyek pembangunan shelter tsunami di Lombok Utara, NTB, menghadirkan kejutan. Terdakwa Aprialely Nirmala, melalui kuasa hukumnya Aan Ramadhan, mengajukan eksepsi atas dakwaan jaksa KPK. Keberatan ini berfokus pada penanganan kasus yang sebelumnya ditangani Polda NTB.
Aan Ramadhan menyatakan ketidakjelasan status penanganan kasus serupa di Polda NTB sebelum KPK mengambil alih perkara. Meskipun telah mencari informasi, hingga saat ini belum ada kejelasan resmi. "Perkara ini kan sedang dijalani [dilakukan] sama Polda NTB ya. Sampai saat ini kan belum ada kejelasan, tetapi, tiba-tiba sudah diambil alih lagi sama KPK" ungkap Aan usai sidang di Pengadilan Tipikor Mataram.
Pihaknya mengaku hanya menemukan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) terakhir tertanggal 9 Mei 2016 dari Polda NTB, yang menyatakan tidak ada kerugian negara. Tidak ada Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang ditemukan. "Jadi, yang di Polda NTB dahulu itu belum ada di SP3, baru di SP2HP saja," tegas Aan.
Untuk melengkapi eksepsi pada sidang lanjutan, kuasa hukum Aprialely berencana mengirim surat resmi ke Polda NTB. Tujuannya meminta klarifikasi mengenai status penanganan kasus tersebut. Informasi ini akan menjadi bagian penting dalam nota keberatan mereka. "Nanti kami akan susul ke polda, mungkin kami akan bersurat, kami akan tanyakan proses yang di polda itu, dan rencananya, itu akan kami tampilkan dalam eksepsi," jelas Aan.
Sidang perdana juga menghadirkan terdakwa lain, Agus Herijanto. Jaksa KPK mendakwa Aprialely, selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dari Kementerian PUPR, telah mengubah rancang bangun proyek tanpa persetujuan. Sementara Agus, sebagai pelaksana proyek, melaksanakan pekerjaan sesuai rancangan yang telah diubah tersebut dan membuat laporan pertanggungjawaban yang tidak benar.
Perubahan rancangan ini mengakibatkan penurunan spesifikasi material, sehingga bangunan tidak sesuai standar tahan gempa 9 skala Richter (SR). Akibatnya, negara mengalami kerugian hingga Rp18,4 miliar. Jaksa mendakwa kedua terdakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Aprialely mengajukan eksepsi atas dakwaan tersebut, sementara Agus meminta waktu untuk mempelajarinya. Majelis hakim menjadwalkan sidang lanjutan pada 31 Januari untuk mendengarkan eksepsi dari kedua terdakwa.