Terungkap, 17 Isu Krusial dalam Revisi KUHAP KPK Telah Dibahas Pemerintah dan KPK
Pemerintah dan KPK telah membahas 17 isu krusial dalam Revisi KUHAP KPK. Apa saja poin-poin yang menjadi sorotan dan bagaimana dampaknya bagi pemberantasan korupsi?

Pemerintah Indonesia, melalui Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej, telah mengonfirmasi pembahasan intensif dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait 17 isu krusial dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).
Diskusi ini berfokus pada inkonsistensi yang ditemukan antara draf RKUHAP dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, sebuah poin penting yang telah disoroti oleh lembaga antirasuah. Wamenkumham Hiariej menyampaikan informasi ini setelah menghadiri diskusi publik Hari Anti Perdagangan Orang di Jakarta pada Kamis (31/7).
Menurut Edward Omar Sharif Hiariej, pembicaraan lebih lanjut telah dilakukan dengan KPK untuk mencari titik temu dan penyelarasan. Meskipun demikian, ia menegaskan bahwa penentuan akhir atas isu-isu ini berada di bawah yurisdiksi Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang saat ini masih dalam proses pembahasan RKUHAP secara menyeluruh.
Sorotan Utama Inkonsistensi Revisi KUHAP KPK
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, sebelumnya telah merinci beberapa dari 17 isu yang menjadi perhatian serius KPK. Salah satu kekhawatiran utama adalah potensi penghapusan status lex specialis atau kewenangan khusus KPK dalam draf RKUHAP, yang dapat membatasi efektivitas kerja lembaga.
Selain itu, RKUHAP juga berpotensi membatasi penanganan kasus oleh KPK hanya pada prosedur yang diuraikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Hal ini dikhawatirkan dapat mengurangi fleksibilitas dan kekuatan KPK dalam mengungkap serta menindak tindak pidana korupsi yang seringkali kompleks dan membutuhkan pendekatan khusus.
Poin lain yang menjadi sorotan adalah tidak diakuinya keberadaan penyidik KPK dalam RKUHAP, yang secara spesifik hanya menyebutkan penyidik berasal dari Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Perbedaan definisi penyelidikan juga mencolok; RKUHAP mendefinisikannya sebagai "menemukan dan mengidentifikasi tindak pidana," sementara UU KPK mengartikan sebagai "proses menemukan setidaknya dua alat bukti" untuk memulai penyidikan.
Perbedaan-perbedaan fundamental ini menimbulkan kekhawatiran serius akan melemahnya upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. KPK berharap draf final Revisi KUHAP dapat mengakomodasi kekhususan dan kebutuhan lembaga antirasuah ini agar tidak menghambat kinerja.
Prioritas Partisipasi Publik dalam Pembahasan Revisi KUHAP
Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, menyatakan bahwa Komisi III DPR telah meminta izin untuk mengadakan rapat pembahasan Revisi KUHAP selama masa reses. Langkah ini diambil untuk menjaring opini dan masukan dari masyarakat luas.
Dasco menegaskan komitmen DPR untuk memprioritaskan partisipasi publik dalam pembahasan RKUHAP, serta revisi undang-undang lainnya. Keterlibatan masyarakat dianggap krusial untuk menghasilkan produk hukum yang berkualitas dan aspiratif.
Inisiatif DPR ini diharapkan dapat memastikan bahwa setiap perubahan dalam Revisi KUHAP tidak hanya mencerminkan kepentingan pemerintah atau lembaga tertentu, tetapi juga mengakomodasi harapan publik. Transparansi dalam proses legislasi menjadi kunci utama.
Dengan demikian, pembahasan mengenai Revisi KUHAP diharapkan dapat berjalan secara komprehensif dan akuntabel. Tujuannya adalah menciptakan kerangka hukum pidana yang kuat dan mendukung upaya pemberantasan korupsi secara efektif.