Revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban: DPR RI Segera Sesuaikan dengan KUHAP Baru
Komisi XIII DPR RI mengupayakan revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban untuk menyesuaikan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru yang akan berlaku pada 2026, guna penguatan kelembagaan LPSK dan perlindungan saksi dan korban.

Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Dewi Asmara, menyatakan urgensi revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK) untuk menyesuaikannya dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru yang akan diterapkan pada tahun 2026. Hal ini disampaikan pada Senin di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta. Revisi ini bertujuan untuk memastikan keselarasan UU PSK dengan sistem hukum acara pidana yang baru.
DPR RI menargetkan penyelesaian revisi KUHAP sebelum 1 Januari 2026, berbarengan dengan berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru. Dewi Asmara menjelaskan bahwa perubahan UU PSK ini sangat penting untuk mengakomodasi perubahan-perubahan dalam KUHAP yang baru. Proses revisi ini diharapkan dapat memperkuat perlindungan saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
Rencana revisi UU PSK ini mencakup setidaknya 13 poin penting yang tengah dikaji oleh Komisi XIII. Pihaknya telah melakukan identifikasi dan pembahasan intensif terhadap poin-poin tersebut. Proses revisi ini melibatkan berbagai pihak, termasuk para pakar, akademisi, dan kelompok masyarakat, untuk memastikan revisi ini komprehensif dan mengakomodasi berbagai kepentingan.
Penguatan LPSK dan Konsultasi Publik
Salah satu tujuan utama revisi UU PSK adalah penguatan kelembagaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Dengan adanya KUHAP yang baru, peran dan fungsi LPSK perlu diperjelas dan diperkuat agar dapat menjalankan tugasnya secara efektif dalam melindungi saksi dan korban. Hal ini penting untuk menjamin keadilan dan kepastian hukum bagi mereka yang terlibat dalam proses peradilan pidana.
Dewi Asmara menambahkan bahwa Komisi XIII telah melakukan konsultasi publik di berbagai daerah untuk menyerap masukan dan aspirasi dari berbagai pihak. Proses ini melibatkan tokoh-tokoh penting, pakar universitas, dan Jaksa Agung Muda Pidana untuk mendapatkan perspektif yang komprehensif dalam penyusunan revisi UU PSK. Masukan-masukan ini akan dipertimbangkan secara cermat dalam proses penyusunan revisi.
Konsultasi publik ini bertujuan untuk memastikan bahwa revisi UU PSK mengakomodasi kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Dengan melibatkan berbagai pihak, diharapkan revisi ini dapat menghasilkan aturan yang lebih efektif dan berkeadilan dalam melindungi saksi dan korban.
Ketua LPSK, Achmadi, menyatakan bahwa konsultasi publik telah dilakukan di Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya. LPSK siap memberikan masukan substantif terhadap rumusan revisi UU PSK, termasuk kemungkinan perubahan dalam rumusan pasal-pasal. Partisipasi aktif LPSK dalam proses revisi ini menunjukkan komitmen mereka untuk memastikan perlindungan saksi dan korban tetap terjamin.
Poin-Poin Revisi UU PSK
Meskipun detail 13 poin revisi belum dipublikasikan secara rinci, fokus utama revisi ini adalah penyesuaian dengan KUHAP baru. Ini termasuk kemungkinan penyesuaian terhadap mekanisme perlindungan, prosedur pelaporan, dan peran LPSK dalam sistem peradilan yang baru. Proses revisi ini diharapkan dapat menghasilkan UU PSK yang lebih modern, efektif, dan responsif terhadap kebutuhan perlindungan saksi dan korban di Indonesia.
Proses revisi UU PSK ini menunjukkan komitmen pemerintah dan DPR RI untuk terus meningkatkan perlindungan saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana. Dengan melibatkan berbagai pihak dan melakukan konsultasi publik, diharapkan revisi ini dapat menghasilkan aturan yang lebih baik dan berkeadilan.
Revisi ini juga diharapkan mampu memperkuat peran LPSK dalam memberikan perlindungan yang komprehensif dan efektif bagi saksi dan korban tindak pidana. Dengan demikian, diharapkan proses peradilan pidana di Indonesia dapat berjalan lebih adil dan transparan.
Dengan adanya revisi ini, diharapkan perlindungan saksi dan korban akan semakin terjamin dan terlindungi dari berbagai ancaman yang mungkin terjadi selama proses peradilan. Hal ini sangat penting untuk menciptakan sistem peradilan pidana yang adil dan berkeadilan bagi semua pihak yang terlibat.