UU TNI: Menata Ulang Hubungan Sipil-Militer di Era Modern
UU TNI menjadi sorotan, memicu perdebatan seputar peran militer dalam kehidupan sipil dan upaya menyeimbangkan hubungan sipil-militer di tengah dinamika demokrasi Indonesia.

Apa, Siapa, Di mana, Kapan, Mengapa, dan Bagaimana? UU TNI yang baru tengah menjadi perdebatan nasional. Perdebatan ini melibatkan berbagai pihak, termasuk akademisi, masyarakat sipil, dan pemerintah, di Jakarta dan seluruh Indonesia. Perdebatan ini muncul karena UU TNI mengatur ulang peran militer dalam kehidupan sipil, yang dinilai krusial bagi masa depan demokrasi Indonesia. Perdebatan ini penting karena sejarah Indonesia mencatat pasang surut hubungan sipil-militer, khususnya era Dwi Fungsi ABRI. Tujuannya adalah untuk membangun sistem yang lebih adaptif dan mencegah pengulangan kesalahan masa lalu.
Pembahasan UU TNI ini penting karena menyangkut keseimbangan peran militer dalam negara demokrasi. Sejarah menunjukkan keterlibatan militer dalam politik dan birokrasi sipil pernah menimbulkan masalah. Oleh karena itu, diperlukan model hubungan sipil-militer yang baru, yang seimbang, transparan, dan akuntabel, untuk menjamin supremasi sipil dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Artikel ini menganalisis berbagai perspektif terkait UU TNI, mengutip pendapat para ahli dan menelaah pengalaman negara lain dalam mengatur hubungan sipil-militer. Tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman yang komprehensif dan obyektif tentang isu ini, serta menawarkan rekomendasi untuk membangun hubungan sipil-militer yang lebih baik di Indonesia.
Keseimbangan Peran Militer dalam Sistem Demokrasi
Dalam sistem demokrasi yang sehat, militer berperan strategis menjaga stabilitas dan keamanan negara. Namun, pengalaman sejarah menunjukkan pentingnya kontrol sipil yang kuat untuk mencegah dominasi militer. Berbagai negara telah mengembangkan model hubungan sipil-militer yang berbeda, seperti Amerika Serikat dengan kontrol sipil yang kuat, Jerman dengan konsep Staatsbürger in Uniform, dan Belanda serta Kanada dengan model civil-military cooperation (CIMIC).
Indonesia dapat belajar dari model-model tersebut untuk merancang pola hubungan sipil-militer yang sesuai dengan konteks nasional. Prinsip meritokrasi dan profesionalisme menjadi kunci dalam penempatan personel TNI, menghindari penempatan berdasarkan kedekatan 'korsa' atau kompromi politik. Setiap posisi yang memungkinkan diisi personel TNI harus melalui kajian kelembagaan dan pengawasan publik, serta tidak melanggar UU Aparatur Sipil Negara.
Keterlibatan militer harus memperkuat fungsi negara secara sah dan akuntabel, bukan mengaburkan batas tugas pokok dan fungsi (tupoksi) antara sipil dan militer. Semua aktor negara wajib tunduk pada hukum dan prinsip pelayanan publik. Hal ini penting untuk mencegah potensi penyalahgunaan kekuasaan dan menjaga supremasi sipil.
Peran Kampus dalam Mendorong Dialog Konstruktif
Reaksi publik terhadap revisi UU TNI menunjukkan perlunya dialog konstruktif mengenai hubungan sipil-militer. Kampus memiliki peran penting dalam mengkaji isu ini secara mendalam, baik dari perspektif teoritis maupun praktis. Para ahli seperti Samuel P. Huntington, Morris Janowitz, dan Rebecca L. Schiff menekankan bahwa hubungan sipil-militer tidak selalu dikotomi subordinasi atau dominasi, melainkan sistem yang dapat dikelola secara demokratis.
Diskusi akademik perlu difokuskan pada solusi dan rekomendasi berbasis kajian ilmiah, bukan reaksi emosional. Mahasiswa perlu memahami konsep integrasi dan kolaborasi sipil-militer dalam menghadapi ancaman global. Kalangan akademisi harus menjelaskan berbagai pandangan sipil-militer secara mendalam, guna mengeliminasi pandangan traumatik yang mungkin muncul dari sejarah.
Oleh karena itu, turun ke jalan untuk memprotes UU TNI bukan satu-satunya pilihan. Kampus dapat berkontribusi dengan menghasilkan kajian ilmiah yang obyektif dan konstruktif, yang dapat menjadi dasar bagi kebijakan yang lebih baik.
Membangun Model Hubungan Sipil-Militer yang Lebih Baik
Substansi UU TNI harus memastikan setiap kebijakan didasarkan pada analisis kebutuhan dan meritokrasi birokrasi secara akuntabel. Keterlibatan prajurit dalam ranah sipil harus berbasis kebutuhan strategis dan melalui proses seleksi terbuka dan objektif, bukan sekadar pemenuhan kuota. Sistem pengawasan yang kuat diperlukan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Proses perumusan kebijakan harus transparan dan melibatkan berbagai pihak, termasuk akademisi, masyarakat sipil, dan lembaga independen. Dengan pendekatan yang berbasis keseimbangan, transparansi, dan akuntabilitas, UU TNI dapat menjadi momentum untuk menata ulang hubungan sipil-militer yang lebih adaptif dan demokratis.
Hubungan sipil-militer yang inklusif tidak berarti dominasi militer, melainkan kemampuan negara mengelola keterlibatan militer secara sah, terukur, dan strategis dalam pembangunan nasional, tanpa melemahkan supremasi sipil. Integrasi sipil-militer yang dipagari regulasi, bukan subordinasi, adalah kunci.
*) Dr Eko Wahyuanto, MM adalah dosen di ST-MMTC Komdigi, Yogyakarta